Jumat, 26 Juni 2015


Sebenarnya, jika kita cermati, kerusuhan Mei ’98 telah dimulai sejak 2 Mei 1998 di Medan, Sumatera Utara. Saat itu, terjadi demontrasi mahasiswa yang berakhir bentrokan. Peristiwa ini kemudian berlanjut hingga tanggal 4, Sebenarnya, jika kita cermati, kerusuhan Mei ’98 telah dimulai sejak 2 Mei 1998 di Medan, Sumatera Utara. Saat itu, terjadi demontrasi mahasiswa yang berakhir bentrokan. Peristiwa ini kemudian berlanjut hingga tanggal 4, sekelompok pemuda melakukan dan pembakaran di beberapa titik/daeah di Medan. Massa yang berada di sekitarnya terpancing untuk melakukan perusakan beberapa bangunan dan menyerang aparat keamanan. Saat itu, sentimen anti polisi berkembang sehingga beberapa kantor dan pos polisi menjadi sasaran amuk massa. Mahasiswa berusaha mengendalikan situasi gagal karena telah amuk massa telah meluas.
Setelah peristiwa Trisakti terjadi, Jakarta menjadi kota yang mencekam. Jauh hari sebelumnya, isu bahwa akan terjadi kerusuhan besar sudah santer di kampung-kampung. “Saya udah denger sih beberapa hari sebelumnya kalo’ mo’ ada kerusuhan, tapi nggak kebayang anak saya jadi korban” ungkap salah satu ibu korban di bilangan Klender. Demikian halnya dengan isu yang berbau anti cina mulai terdengar beberapa minggu sebelumnya, walaupun hanya dari mulut ke mulut. Isu-isu tersebut disebarkan oleh orang yang tidak dikenal dan bukan berasal dari kampung tersebut.
Keesokan hari setelah terjadinya penembakan terhadap mahasiswa di Usakti, bilangan Slipi mulai “panas” dengan aksi yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal. Mereka mulai melakukan pelemparan dan pembakaran ban di jalan. Aksi yang serupa terjadi dibeberapa daerah dalam waktu yang serempak. Sekitar pukul 10.00 – 13. 00, Cipulir, Salemba, Jatinegara, Klender, Tangerang, Cikini, Slipi, Pasar Minggu dan Tanah Abang mulai terjadi pelemparan yang dilakukan oleh sekelompok remaja berpakaian sekolah.
Menurut data dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) dan diperkuat hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) , kelompok tersebut sangat sulit di identifikasi namun mempunyai banyak kesamaan, yaitu: a. berpakaian seragam sekolah b. berbadan tegap, ramput cepak, memakai sepatu boot (militer) dengan wajah sangar c. mempersiapkan berbagai perlengkapan kerusuhan seperti batu, cairan pembakar dan alat pembakar, mereka di tempatkan dengan menggunakan alat transportasi seperti truk dan kendaran bermotor lainnya.
Pola kerusuhan yang terjadi adalah setelah melakukan pelemparan, mereka kemudian melakukan perusakan beberapa toko yang dilanjutkan dengan melakukan penjarahan sambil berteriak mengajak massa lainnya untuk masuk. Massa -masyarakat yang menonton- kemudian ikut melakukan penjarahan. Beberapa barang dikeluarkan kemudian dibakar oleh sekelompok orang. Setelah massa tersebut mulai masuk, kelompok yang tadi memulai kemudian mundur dan menghilang. Di beberapa daerah seperti Pasar Minggu dan Klender, pembakaran dilakukan oleh kelompok yang tidak dikenal tersebut dengan menyiramkan bensin dan kemudian membakarnya.
Peristiwa ini terus berlangsung hingga tanggal 15, dimana terjadi juga peristiwa perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempaun yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa. Peristiwa ini tidak dapat dipaparkan karena data yang dimiliki saat ini masih sangat minim dan sangat sensitif. Namun, bukan berarti bahwa peristiwa ini tidak terjadi atau tidak dapat dibuktikan.
Aparat keamanan yang sebelumnya begitu “tegas” menindak setiap aksi yang terjadi, seperti menghilang saat terjadinya peristiwa ini. Konsentrasi aparat keamanan terlihat di daerah Menteng, Cilangkap dan beberapa wilayah Sudirman. Terdapat beberapa fakta yang membuktikan bahwa terjadi penarikan pasukan ke Mabes TNI dan pasukan bantuan dari luar Jakarta tidak langsung diturunkan untuk mengamankan kota. Kerusuhan ini tampak seperti di biarkan terjadi tanpa ada usaha untuk mencegahnya
Korban
Pada Kerusuhan Mei, Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) mencatat korban yang jatuh berjumlah 1.190 orang akibat ter/di-bakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka. Angka di atas belum termasuk korban kekerasan seksual di beberapa kota.
inilah hipotesis ayah saya
 Sebelum kerusuhan Mei 1998: Soeharto telah memerintahkan menantunya
Prabowo untuk membereskan aktivis2 dari mahasiswa, LSM, dll yang telah
merongrong wibawanya.

- Prabowo melaksanakan dengan melakukan penculikan, intimidasi, dan
pembunuhan para aktifis dan mahasiswa “militan” itu, dilaksanakan oleh
pendukung setianya seperti: Kivlan Zein (dijuluki Mayjen “Kunyuk” oleh Gus
Dur), Muchdi, Sjafrie Syamsuddin, Zakky Makarim, dll. Didukung oleh Feisal
Tandjung.

Sampai pada puncaknya demonstrasi gabungan oleh mahasiswa Trisakti yang
sangat menghujat Soeharto dengan tulisan2 di tembok2 kampus, jembatan layang
grogol (“$oeharto anjing”, “koruptor bangsa”, “Gantung $oeharto", dll).

Soeharto habis kesabarannya sehingga menyuruh Wiranto dan Prabowo
"membereskan” mahasiswa Trisakti dan menghentikan demonstrasi mereka dengan
segala cara.

- Wiranto dan Prabowo menyusun rencana untuk menghentikan demonstrasi
mahasiswa dengan cara: pertama-tama Soeharto harus ke luar negeri dulu
(Mesir) agar dia punya alibi di mata internasional, bahwa bukan dia
penggagas-nya, lalu mereka menyiapkan sniper / penembak jitu di jembatan
layang grogol yang menyamar sebagai Brimob dan menembak beberapa mahasiswa
Trisakti yang sedang berdemo di kampus – dilaksanakan tanggal 12 Mei 1998.

- Besoknya (tgl 13 Mei 1998) dilaksanakan kerusuhan terbatas sekitar
Trisakti / Daan Mogot dan Kyai Tapa dengan memakai preman2, pasukan Tidar
(drop out Akabri yang direkrut Prabowo) yang menyamar memakai baju seragam
SMA dan jaket almamater Trisakti membakar pom bensin dan toko-toko (lihat
laporan Tim Relawan dan TGPF). Mereka sebelumnya sudah berteriak2 memanggil
mahasiswa2 di dalam kampus untuk bergabung ke jalan, namun ditolak oleh
mahasiswa (menurut kesaksian mahasiswa2). Berikutnya pos2 polisi dibakar
juga beberapa buah, untuk membuktikan bahwa “mahasiswa/rakyat” membalas
dendam atas “kebringasan polisi menembak mahasiswa”.

- Pos-pos polisi juga dibakar (polisi yang sudah tahu, telah mengungsi dan
membiarkan pos-nya kosong) untuk menanamkan kepercayaan bahwa “mahasiswa dan
masyarakat membalas dendam atas tertembaknya mahasiswa Trisakti”.

- Direncanakan setelah itu kerusuhan dipadamkan dengan korban yang cukup
besar (nyawa dan harta benda), sehingga segala demonstrasi mahasiswa akan
dilarang secara hukum karena mahasiswa2 demonstran itu "telah mengakibatkan
ekses kerusuhan", dan kehancuran aset dan kehilangan nyawa manusia.

- Pada saat itu Prabowo mempunyai rencana/agenda tersendiri untuk mencapai
cita2nya untuk menjadi Pangab dan menggeser Wiranto.

- Hal ini sudah direncanakan jauh2 hari namun saat itulah yang paling tepat
untuk dilakukan, bersama-sama dengan geng-nya seperti yang disinyalir oleh
Gus Dur sebagai “otak kerusuhan” berinisial ES (Eggy Sudjana), AS (Adi
Sasono), Fadli Zon, Gogon (Ahmad Soemargono - KISDI), dll.

- Prabowo segera menghimpun anak-buahnya pasukan Tidar, pencak silat Kisdi,
preman2 Cengkareng, Tanah Abang, Pemuda Pancasila, dll untuk melaksanakan
proyeknya berupa pembakaran Glodok building, Harco, Orion plaza dan
sekitarnya juga diperluas sampai ke Mall2 di seluruh Jakarta disertai
pembakaran hidup2 lebih dari 1000 orang untuk mendramatisasi keadaan yang
kacau.

- Pemerkosaan terhadap perempuan2 etnik Cina dilakukan untuk “shock therapy”
agar sebagian besar orang Cina kabur ke luar negeri atau bersembunyi. Juga
agar jika ada saksi mata orang Cina yang masih hidup, dapat diancam (karena
sebagian data2 dirinya, KTP diambil), dipermalukan dll. Setelah itu jika
mereka takut kembali, aset-asetnya dapat disita.

- Setelah Prabowo nantinya “berkuasa” akan diterapkan sistem ekonomi
rasialis/diskriminatif ala Malaysia, karena dianggap “masyarakat juga
membenci orang2 Cina yang menguasai ekonomi”). Beberapa minggu sebelumnya
mereka telah beraudiensi ke UMNO (lihat berita suratkabar akhir April 1998).
Bukan kebetulan jika “kerusuhan rasialis” yang direkayasa UMNO/Mahathir
adalah tanggal 13 MEI 1969! (lihat tulisan Duncan Campbell, “When Mobs turn
on the merchants”). Setelah itu mereka bisa memelihara beberapa oknum
pengusaha Cina dan suku2 lainnya yang mau berkolaborasi (KKN) dengan mereka.

- Tujuan lain Prabowo dengan memperluas kerusuhan adalah untuk
mendiskreditkan Wiranto agar dianggap tidak becus oleh Soeharto dalam
mengisolasikan kerusuhan sehingga Wiranto diturunkan dan diganti Prabowo
yang seolah-olah melalui anak buahnya Sjafrie Sjamsuddin (Pangdam V Jaya
waktu itu) berhasil mengatasi situasi di hari ke-4 dengan berkeliling naik
panser.

- Wiranto yang pada waktu kerusuhan tidak mendapat pasukan segera mengontak
anak buah setianya Djaja Suparman dari Kodam Siliwangi untuk mensuplai
pasukan, dan terbang ke Malang. Sjafrie S telah mengacak-acak keberadaan
pasukan Kodam V dan sebagian disuruh berdiam di markas, sementara pasukan
Kostrad di bawah kendali Prabowo, sehingga tidak cukup suplai pasukan bagi
Wiranto untuk memadamkan kerusuhan yang telah “merembet ke seluruh Jakarta”.

- Soeharto pulang dari Mesir dan langsung memanggil mereka.

- Namun situasi sudah keburu memanas di mana gabungan kekuatan mahasiswa
telah bergerak menduduki gedung DPR/MPR

- Ketua MPR Harmoko “berkhianat” bersama-sama dengan wakil2nya (Syarwan
Hamid, dll) menganjurkan Soeharto agar turun tahta. Dia sakit hati karena
rumahnya di Solo juga dibakar.

- Wiranto berusaha membela dengan mengatakan itu adalah pendapat pribadi
Harmoko bukan sebagai ketua MPR

- Mahasiswa2 dan banyak lagi LSM lain mengultimatum akan mengadakan
demonstrasi besar2an tgl 20 Mei 1998.

- Para mentri kabinet mengancam akan mengundurkan diri jika Soeharto terus
bertahan.

- President Clinton kemungkinan besar menelepon/mengultimatum Soeharto agar
segera turun tahta sebelum terjadi pertumpahan darah yang hebat antara
mahasiswa dan tentara. (menurut siaran radio BBC dan Hong Kong yang dipantau
pada hari itu). Dengan menyiapkan armada VII nya untuk merapat ke Tanjung
Priok.

- Soeharto menyerah dan mengundurkan diri setelah Habibie & Wiranto
meyakinkan dia untuk membela dia dan keluarganya jika dia mau mundur.

- Mahasiswa2 dan demonstran2 lainnya dibersihkan, kemungkinan oleh
Wiranto/Habibie dari gedung MPR/DPR dengan memakai Pemuda Pancasila, Pencak
Silat KISDI, preman2, yang bersenjatakan golok dan di-back up oleh Kostrad.
“Beruntung”, marinir menetralisir keadaan dengan “membantu mengawal”
mahasiswa2 keluar kompleks MPR/DPR, dengan alasan Soeharto telah lengser
keprabon.

- Wiranto yang telah mengetahui apa yang terjadi dan telah
mengkonsolidasikan kekuatan/pasukannya, sangat marah dengan Prabowo, dan
mengadakan deal/kesepakatan dengan Habibie untuk menyingkirkannya dan
mencopot jabatannya sebagai Pangkostrad saat itu juga.

- Prabowo marah dan mengepung istana dan meminta Habibie untuk meninjau
ulang keputusannya (lihat wawancara Habibie dengan koran Jerman Der
Spriegel), namun Habibie tetap membela Wiranto.

- Mamiek sangat marah dengan Prabowo dan menudingnya “kamu pengkhianat
jangan injak rumah saya lagi!” pada waktu ada pertemuan keluarga.

- Sejak itu Prabowo diasingkan oleh keluarganya dan Wiranto, sehingga kabur
ke Jordania menemui teman akrabnya Pangeran (waktu itu, sekarang Raja)
Jordania

- Prabowo pernah mau pulang pada akhir tahun 1998, namun disindir Gus Dur:
“jangan pulang, nanti digebuki preman-preman Cengkareng” (lihat koran
terbitan saat itu), maksudnya preman2 Cengkareng yang dipakai juga buat
melakukan kerusuhan itu mungkin akan menagih janji (mungkin belum dibayar
atau banyak teman2nya yang dibunuh setelah misi memperkosa, menjarah,
membunuhnya, selesai).

- Sekarang dengan jatuhnya Wiranto, Prabowo merasa lebih aman, dan mau
mencuci namanya dengan menerbitkan buku.

Lihat betapa rumit permasalahannya dan melibatkan begitu banyak orang.
Sehingga memang tidak mudah untuk mengadili Prabowo, karena dia bisa-bisa
"menyanyi"/mengaku, dan ujung2nya Soeharto, Wiranto, Feisal Tandjung, dll
bisa terkena juga.
 pemuda melakukan dan pembakaran di beberapa titik/daeah di Medan. Massa yang berada di sekitarnya terpancing untuk melakukan perusakan beberapa bangunan dan menyerang aparat keamanan. Saat itu, sentimen anti polisi berkembang sehingga beberapa kantor dan pos polisi menjadi sasaran amuk massa. Mahasiswa berusaha mengendalikan situasi gagal karena telah amuk massa telah meluas.
Setelah peristiwa Trisakti terjadi, Jakarta menjadi kota yang mencekam. Jauh hari sebelumnya, isu bahwa akan terjadi kerusuhan besar sudah santer di kampung-kampung. “Saya udah denger sih beberapa hari sebelumnya kalo’ mo’ ada kerusuhan, tapi nggak kebayang anak saya jadi korban” ungkap salah satu ibu korban di bilangan Klender. Demikian halnya dengan isu yang berbau anti cina mulai terdengar beberapa minggu sebelumnya, walaupun hanya dari mulut ke mulut. Isu-isu tersebut disebarkan oleh orang yang tidak dikenal dan bukan berasal dari kampung tersebut.
Keesokan hari setelah terjadinya penembakan terhadap mahasiswa di Usakti, bilangan Slipi mulai “panas” dengan aksi yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal. Mereka mulai melakukan pelemparan dan pembakaran ban di jalan. Aksi yang serupa terjadi dibeberapa daerah dalam waktu yang serempak. Sekitar pukul 10.00 – 13. 00, Cipulir, Salemba, Jatinegara, Klender, Tangerang, Cikini, Slipi, Pasar Minggu dan Tanah Abang mulai terjadi pelemparan yang dilakukan oleh sekelompok remaja berpakaian sekolah.
Menurut data dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) dan diperkuat hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) , kelompok tersebut sangat sulit di identifikasi namun mempunyai banyak kesamaan, yaitu: a. berpakaian seragam sekolah b. berbadan tegap, ramput cepak, memakai sepatu boot (militer) dengan wajah sangar c. mempersiapkan berbagai perlengkapan kerusuhan seperti batu, cairan pembakar dan alat pembakar, mereka di tempatkan dengan menggunakan alat transportasi seperti truk dan kendaran bermotor lainnya.
Pola kerusuhan yang terjadi adalah setelah melakukan pelemparan, mereka kemudian melakukan perusakan beberapa toko yang dilanjutkan dengan melakukan penjarahan sambil berteriak mengajak massa lainnya untuk masuk. Massa -masyarakat yang menonton- kemudian ikut melakukan penjarahan. Beberapa barang dikeluarkan kemudian dibakar oleh sekelompok orang. Setelah massa tersebut mulai masuk, kelompok yang tadi memulai kemudian mundur dan menghilang. Di beberapa daerah seperti Pasar Minggu dan Klender, pembakaran dilakukan oleh kelompok yang tidak dikenal tersebut dengan menyiramkan bensin dan kemudian membakarnya.
Peristiwa ini terus berlangsung hingga tanggal 15, dimana terjadi juga peristiwa perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempaun yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa. Peristiwa ini tidak dapat dipaparkan karena data yang dimiliki saat ini masih sangat minim dan sangat sensitif. Namun, bukan berarti bahwa peristiwa ini tidak terjadi atau tidak dapat dibuktikan.
Aparat keamanan yang sebelumnya begitu “tegas” menindak setiap aksi yang terjadi, seperti menghilang saat terjadinya peristiwa ini. Konsentrasi aparat keamanan terlihat di daerah Menteng, Cilangkap dan beberapa wilayah Sudirman. Terdapat beberapa fakta yang membuktikan bahwa terjadi penarikan pasukan ke Mabes TNI dan pasukan bantuan dari luar Jakarta tidak langsung diturunkan untuk mengamankan kota. Kerusuhan ini tampak seperti di biarkan terjadi tanpa ada usaha untuk mencegahnya
Korban
Pada Kerusuhan Mei, Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) mencatat korban yang jatuh berjumlah 1.190 orang akibat ter/di-bakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka. Angka di atas belum termasuk korban kekerasan seksual di beberapa kota.
inilah hipotesis ayah saya
 Sebelum kerusuhan Mei 1998: Soeharto telah memerintahkan menantunya
Prabowo untuk membereskan aktivis2 dari mahasiswa, LSM, dll yang telah
merongrong wibawanya.

- Prabowo melaksanakan dengan melakukan penculikan, intimidasi, dan
pembunuhan para aktifis dan mahasiswa “militan” itu, dilaksanakan oleh
pendukung setianya seperti: Kivlan Zein (dijuluki Mayjen “Kunyuk” oleh Gus
Dur), Muchdi, Sjafrie Syamsuddin, Zakky Makarim, dll. Didukung oleh Feisal
Tandjung.

Sampai pada puncaknya demonstrasi gabungan oleh mahasiswa Trisakti yang
sangat menghujat Soeharto dengan tulisan2 di tembok2 kampus, jembatan layang
grogol (“$oeharto anjing”, “koruptor bangsa”, “Gantung $oeharto", dll).

Soeharto habis kesabarannya sehingga menyuruh Wiranto dan Prabowo
"membereskan” mahasiswa Trisakti dan menghentikan demonstrasi mereka dengan
segala cara.

- Wiranto dan Prabowo menyusun rencana untuk menghentikan demonstrasi
mahasiswa dengan cara: pertama-tama Soeharto harus ke luar negeri dulu
(Mesir) agar dia punya alibi di mata internasional, bahwa bukan dia
penggagas-nya, lalu mereka menyiapkan sniper / penembak jitu di jembatan
layang grogol yang menyamar sebagai Brimob dan menembak beberapa mahasiswa
Trisakti yang sedang berdemo di kampus – dilaksanakan tanggal 12 Mei 1998.

- Besoknya (tgl 13 Mei 1998) dilaksanakan kerusuhan terbatas sekitar
Trisakti / Daan Mogot dan Kyai Tapa dengan memakai preman2, pasukan Tidar
(drop out Akabri yang direkrut Prabowo) yang menyamar memakai baju seragam
SMA dan jaket almamater Trisakti membakar pom bensin dan toko-toko (lihat
laporan Tim Relawan dan TGPF). Mereka sebelumnya sudah berteriak2 memanggil
mahasiswa2 di dalam kampus untuk bergabung ke jalan, namun ditolak oleh
mahasiswa (menurut kesaksian mahasiswa2). Berikutnya pos2 polisi dibakar
juga beberapa buah, untuk membuktikan bahwa “mahasiswa/rakyat” membalas
dendam atas “kebringasan polisi menembak mahasiswa”.

- Pos-pos polisi juga dibakar (polisi yang sudah tahu, telah mengungsi dan
membiarkan pos-nya kosong) untuk menanamkan kepercayaan bahwa “mahasiswa dan
masyarakat membalas dendam atas tertembaknya mahasiswa Trisakti”.

- Direncanakan setelah itu kerusuhan dipadamkan dengan korban yang cukup
besar (nyawa dan harta benda), sehingga segala demonstrasi mahasiswa akan
dilarang secara hukum karena mahasiswa2 demonstran itu "telah mengakibatkan
ekses kerusuhan", dan kehancuran aset dan kehilangan nyawa manusia.

- Pada saat itu Prabowo mempunyai rencana/agenda tersendiri untuk mencapai
cita2nya untuk menjadi Pangab dan menggeser Wiranto.

- Hal ini sudah direncanakan jauh2 hari namun saat itulah yang paling tepat
untuk dilakukan, bersama-sama dengan geng-nya seperti yang disinyalir oleh
Gus Dur sebagai “otak kerusuhan” berinisial ES (Eggy Sudjana), AS (Adi
Sasono), Fadli Zon, Gogon (Ahmad Soemargono - KISDI), dll.

- Prabowo segera menghimpun anak-buahnya pasukan Tidar, pencak silat Kisdi,
preman2 Cengkareng, Tanah Abang, Pemuda Pancasila, dll untuk melaksanakan
proyeknya berupa pembakaran Glodok building, Harco, Orion plaza dan
sekitarnya juga diperluas sampai ke Mall2 di seluruh Jakarta disertai
pembakaran hidup2 lebih dari 1000 orang untuk mendramatisasi keadaan yang
kacau.

- Pemerkosaan terhadap perempuan2 etnik Cina dilakukan untuk “shock therapy”
agar sebagian besar orang Cina kabur ke luar negeri atau bersembunyi. Juga
agar jika ada saksi mata orang Cina yang masih hidup, dapat diancam (karena
sebagian data2 dirinya, KTP diambil), dipermalukan dll. Setelah itu jika
mereka takut kembali, aset-asetnya dapat disita.

- Setelah Prabowo nantinya “berkuasa” akan diterapkan sistem ekonomi
rasialis/diskriminatif ala Malaysia, karena dianggap “masyarakat juga
membenci orang2 Cina yang menguasai ekonomi”). Beberapa minggu sebelumnya
mereka telah beraudiensi ke UMNO (lihat berita suratkabar akhir April 1998).
Bukan kebetulan jika “kerusuhan rasialis” yang direkayasa UMNO/Mahathir
adalah tanggal 13 MEI 1969! (lihat tulisan Duncan Campbell, “When Mobs turn
on the merchants”). Setelah itu mereka bisa memelihara beberapa oknum
pengusaha Cina dan suku2 lainnya yang mau berkolaborasi (KKN) dengan mereka.

- Tujuan lain Prabowo dengan memperluas kerusuhan adalah untuk
mendiskreditkan Wiranto agar dianggap tidak becus oleh Soeharto dalam
mengisolasikan kerusuhan sehingga Wiranto diturunkan dan diganti Prabowo
yang seolah-olah melalui anak buahnya Sjafrie Sjamsuddin (Pangdam V Jaya
waktu itu) berhasil mengatasi situasi di hari ke-4 dengan berkeliling naik
panser.

- Wiranto yang pada waktu kerusuhan tidak mendapat pasukan segera mengontak
anak buah setianya Djaja Suparman dari Kodam Siliwangi untuk mensuplai
pasukan, dan terbang ke Malang. Sjafrie S telah mengacak-acak keberadaan
pasukan Kodam V dan sebagian disuruh berdiam di markas, sementara pasukan
Kostrad di bawah kendali Prabowo, sehingga tidak cukup suplai pasukan bagi
Wiranto untuk memadamkan kerusuhan yang telah “merembet ke seluruh Jakarta”.

- Soeharto pulang dari Mesir dan langsung memanggil mereka.

- Namun situasi sudah keburu memanas di mana gabungan kekuatan mahasiswa
telah bergerak menduduki gedung DPR/MPR

- Ketua MPR Harmoko “berkhianat” bersama-sama dengan wakil2nya (Syarwan
Hamid, dll) menganjurkan Soeharto agar turun tahta. Dia sakit hati karena
rumahnya di Solo juga dibakar.

- Wiranto berusaha membela dengan mengatakan itu adalah pendapat pribadi
Harmoko bukan sebagai ketua MPR

- Mahasiswa2 dan banyak lagi LSM lain mengultimatum akan mengadakan
demonstrasi besar2an tgl 20 Mei 1998.

- Para mentri kabinet mengancam akan mengundurkan diri jika Soeharto terus
bertahan.

- President Clinton kemungkinan besar menelepon/mengultimatum Soeharto agar
segera turun tahta sebelum terjadi pertumpahan darah yang hebat antara
mahasiswa dan tentara. (menurut siaran radio BBC dan Hong Kong yang dipantau
pada hari itu). Dengan menyiapkan armada VII nya untuk merapat ke Tanjung
Priok.

- Soeharto menyerah dan mengundurkan diri setelah Habibie & Wiranto
meyakinkan dia untuk membela dia dan keluarganya jika dia mau mundur.

- Mahasiswa2 dan demonstran2 lainnya dibersihkan, kemungkinan oleh
Wiranto/Habibie dari gedung MPR/DPR dengan memakai Pemuda Pancasila, Pencak
Silat KISDI, preman2, yang bersenjatakan golok dan di-back up oleh Kostrad.
“Beruntung”, marinir menetralisir keadaan dengan “membantu mengawal”
mahasiswa2 keluar kompleks MPR/DPR, dengan alasan Soeharto telah lengser
keprabon.

- Wiranto yang telah mengetahui apa yang terjadi dan telah
mengkonsolidasikan kekuatan/pasukannya, sangat marah dengan Prabowo, dan
mengadakan deal/kesepakatan dengan Habibie untuk menyingkirkannya dan
mencopot jabatannya sebagai Pangkostrad saat itu juga.

- Prabowo marah dan mengepung istana dan meminta Habibie untuk meninjau
ulang keputusannya (lihat wawancara Habibie dengan koran Jerman Der
Spriegel), namun Habibie tetap membela Wiranto.

- Mamiek sangat marah dengan Prabowo dan menudingnya “kamu pengkhianat
jangan injak rumah saya lagi!” pada waktu ada pertemuan keluarga.

- Sejak itu Prabowo diasingkan oleh keluarganya dan Wiranto, sehingga kabur
ke Jordania menemui teman akrabnya Pangeran (waktu itu, sekarang Raja)
Jordania

- Prabowo pernah mau pulang pada akhir tahun 1998, namun disindir Gus Dur:
“jangan pulang, nanti digebuki preman-preman Cengkareng” (lihat koran
terbitan saat itu), maksudnya preman2 Cengkareng yang dipakai juga buat
melakukan kerusuhan itu mungkin akan menagih janji (mungkin belum dibayar
atau banyak teman2nya yang dibunuh setelah misi memperkosa, menjarah,
membunuhnya, selesai).

- Sekarang dengan jatuhnya Wiranto, Prabowo merasa lebih aman, dan mau
mencuci namanya dengan menerbitkan buku.

Lihat betapa rumit permasalahannya dan melibatkan begitu banyak orang.
Sehingga memang tidak mudah untuk mengadili Prabowo, karena dia bisa-bisa
"menyanyi"/mengaku, dan ujung2nya Soeharto, Wiranto, Feisal Tandjung, dll
bisa terkena juga.

Sejarah kekuatan indonesia


Sejarah (Kekuatan Indonesia Yang Menggetarkan Dunia)

1960-an, Era Presiden Sukarno.
kekuatan militer Indonesia adalah salah satu yang terbesar dan terkuat di dunia. Saat itu, bahkan kekuatan Belanda sudah tidak sebanding dengan Indonesia, dan Amerika sangat khawatir dengan perkembangan kekuatan militer kita yang didukung besar-besaran oleh teknologi terbaru Uni Sovyet.
1960, Belanda masih bercokol di Papua. Melihat kekuatan Republik Indonesia yang makin hebat, Belanda yang didukung Barat merancang muslihat untuk membentuk negara boneka yang seakan-akan merdeka, tapi masih dibawah kendali Belanda.
Presiden Sukarno segera mengambil tindakan ekstrim, tujuannya, merebut kembali Papua. Sukarno segera mengeluarkan maklumat “Trikora” di Yogyakarta, dan isinya adalah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.
Berkat kedekatan Indonesia dengan Sovyet, maka Indonesia mendapatkan bantuan besar-besaran kekuatan armada laut dan udara militer termaju di dunia dengan nilai raksasa, US$ 2.5 milyar. Saat ini, kekuatan militer Indonesia menjadi yang terkuat di seluruh belahan bumi selatan.
Kekuatan utama Indonesia di saat Trikora itu adalah salahsatu kapal perang terbesar dan tercepat di dunia buatan Sovyet dari kelas Sverdlov, dengan 12 meriam raksasa kaliber 6 inchi. Ini adalah KRI Irian, dengan bobot raksasa 16.640 ton dengan awak sebesar 1270 orang termasuk 60 perwira. Sovyet, tidak pernah sekalipun memberikan kapal sekuat ini pada bangsa lain manapun, kecuali Indonesia. (kapal-kapal terbaru Indonesia sekarang dari kelas Sigma hanya berbobot 1600 ton).
Angkatan udara Indonesia juga menjadi salahsatu armada udara paling mematikan di dunia, yang terdiri dari lebih dari 100 pesawat tercanggih saat itu. Armada ini terdiri dari :
1. 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed.

2. 30 pesawat MiG-15.

3. 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17.

4. 10 pesawat supersonic MiG-19.
pesawat MiG-21 Fishbed adalah salahsatu pesawat supersonic tercanggih di dunia, yang telah mampu terbang dengan kecepatan mencapai Mach 2. Pesawat ini bahkan lebih hebat dari pesawat tercanggih Amerika saat itu, pesawat supersonic F-104 Starfighter dan F-5 Tiger. Sementara Belanda masih mengandalkan pesawat-pesawat peninggalan Perang Dunia II seperti P-51 Mustang.
Sebagai catatan, kedahsyatan pesawat-pesawat MiG-21 dan MiG-17 di Perang Vietnam sampai mendorong Amerika mendirikan United States Navy Strike Fighter Tactics Instructor, pusat latihan pilot-pilot terbaik yang dikenal dengan nama TOP GUN.
Indonesia juga memiliki armada 26 pembom jarak jauh strategis Tu-16 Tupolev (Badger A dan B). Ini membuat Indonesia menjadi salahsatu dari hanya 4 bangsa di dunia yang mempunyai pembom strategis, yaitu Amerika, Rusia, dan Inggris. Pangkalannya terletak di Lapangan Udara Iswahyudi, Surabaya.
Bahkan China dan Australia pun belum memiliki pesawat pembom strategis seperti ini. Pembom ini juga dilengkapi berbagai peralatan elektronik canggih dan rudal khusus anti kapal perang AS-1 Kennel, yang daya ledaknya bisa dengan mudah menenggelamkan kapal-kapal tempur Barat.
Indonesia juga memiliki 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan kapal tempur kelas Corvette, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4, berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B. Total, Indonesia mempunyai 104 unit kapal tempur. Belum lagi ribuan senapan serbu terbaik saat itu dan masih menjadi legendaris sampai saat ini, AK-47.
Ini semua membuat Indonesia menjadi salasahtu kekuatan militer laut dan udara terkuat di dunia. Begitu hebat efeknya, sehingga Amerika di bawah pimpinan John F. Kennedy memaksa Belanda untuk segera keluar dari Papua, dan menyatakan dalam forum PBB bahwa peralihan kekuasaan di Papua, dari Belanda ke Indonesia adalah sesuatu yang bisa diterima.

tata cara membantae orang komunis


Tata Cara Membantai Orang-orang Komunis

Dalam menghidangkan makanan perlu dipersiapkan dengan baik agar tak membunuh selera makan. Pun, dengan sebuah pembantaian.
Kira-kira umur saya baru 12 tahun. Ibu saya sering bercerita kalau dirinya membenci Banser—sayap pemuda Ansor yang beralifiasi dengan Nahdathul Ulama [NU]. Penggambaran ibu saya terhadap Banser tak simpatik: berambut gondrong, memakai peci dan selalu membawa kelewang, parang dan linggis kemana-mana. Kala itu saya belum tahu apa yang terjadi. Saat umur saya bertambah, baru mendapatkan cerita yang utuh.
Seperti ini peristiwanya: Suatu malam di bulan Desember 1965, adik ibu saya, Suroso—Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] Kabupaten Blitar—dicokok oleh segerombolan anggota Banser di rumah kami di sebuah desa di Blitar. Konon Suroso dibawa ke Koramil, tak jauh dari kantor kecamatan. Dan, sejak saat itu tak kembali sampai sekarang.
Seingat saya, sampai bertahun-tahun orang-orang yang senasib dengan ibu saya, setiap malam Jumat meletakkan bunga sesajian pada mangkok daun pisang di perempatan kampung kami. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan suami, istri, anak, orangtua maupun saudara yang terjadi dalam epik pengejaran orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965.
Paman saya yang lain, Sihono, juga mempunyai kebencian yang sama terhadap Ansor. Ia punya pengalaman sendiri sehingga rasa tak suka itu muncul. Ketika balik ke kampung untuk liburan dari tugas mengajar di Jember menjelang peristiwa 1965, paman saya didatangi kawannya. Maksud kedatangan sang kawan untuk meminjam uang. Peristiwa itu berlangsung biasa-biasa saja. Sampai akhirnya awal tahun 1966 paman saya dijemput tentara. Ia dibawa ke kantor Koramil, diintrograsi, dihajar dan dijebloskan ke penjara. Apa masalahnya? Padahal paman saya tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Usut punya usut, paman saya ditangkap karena meminjami uang kawannya yang ternyata anggota BTI [Barisan Tani Indonesia]. Dan yang melaporkan adalah tetangganya sendiri, seorang anggota Ansor. Sejak saat itu paman saya keluar masuk penjara; tiga bulan di penjara, dilepaskan, diambil lagi, begitu seturusnya sampai tahun 1970. Dan dipecat dari tugasnya sebagai guru.
Begitulah kebencian itu muncul. Mungkin sedikit yang perlu saya ceritakan adalah saat-saat menjelang pembantaian dimulai. Bahan cerita ini saya kumpulkan dari obrolan tidak resmi dengan orang-orang kampung sewaktu saya SMA dulu. Kira-kira 500 meter dari rumah saya dilahirkan, segerombolan pemuda Ansor berkumpul. Senjata tajam diasah. Setelah selesai, senjata tersebut dicoba terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh mana ketajamannya. Caranya, buah nangka muda—di desa saya disebuttewel—dipegang tangkainya kemudian ditebas dengan sajam pas tengah-tengahnya. Kalau sekali tebas sudah langsung terbagi dua tewel itu, pertanda senjata sudah tajam, kalau belum maka senjata perlu diasah lagi. Setelah siap kemudian digunakan untuk berburu orang-orang komunis. Mengapa saya pakai kata “berburu”? Karena tingkah mereka memang persis orang berburu binatang: sasaran diintai, kemudian dikepung, dilumpuhkan, dan akhirnya dibantai. Persis tingkah orang-orang pada tarap Zaman Kebuasaan—tahap perkembangan peradaban menurut Engels—ketika peradaban masih dalam masa transisi dari hewan ke manusia.
Sekarang saya baru tahu, Banser merupakan bagian dari ampat hidjau seperti yang disampaikan W.F. Wertheim. Sebagaimana dikutip  Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan dalam bukunya  Indonesia; Law, Propaganda and Terror, Wertheim menyatakan ada ampat hidjau yang menghancurkan dan terlibat dalam perburuan terhadap orang-orang Komunis tahun 1965. Apa saja empat hidjau itu? Ungkap Wertheim: “Hijau adalah warna Islam, warna baret tentara, warna kesatuan mahasiswa KAMI dan terakhir tapi yang tidak kalah pentingnya, Duta Besar Kebangsaan Amerika Marshall Green.”
Sebelum ampat hidjau muncul, situasi di desa saya baik-baik saja. Bapak saya anggota Masyumi (Islam), ibu saya anggota PNI (Nasionalis), dan paman saya anggota PKI (Komunis). Tak pernah saya mendengar mereka ribut masalah beda ideologi dan partai. Baru setelah ampat hidjau merajalela, situasi jadi ruyam. Sesama keluarga bisa saling curiga, dengan tetangga saling mengawasi. Situasi mendidih.
Nah, sebetulnya bagaimana tata cara pembantaian terhadap orang-orang komunis itu? Agar cerita saya di muka tidak dianggap mengada-ada, akan saya tunjukkan beberapa rujukan. Tentu saja sumbernya buku-buku yang sudah terbit.
Saya berangkat dari buku The Indonesia Killings of 1965-1966: Studies from Jawa and Bali, yang dieditori Robert Cribb. Pada halaman 279 [edisi Indonesia] terdapat tulisan berjudul Data Tambahan Tentang Kekejaman Kontra Revolusoner di Indonesia Khususnya di Jawa Timur. Penulisnya anonim. Menurut keterangan editor, rentang waktu dalam tulisan itu antara Desember 1965 sampai Januari 1966. Data-data yang disampaikan cukup mengasyikkan untuk dibaca. Beberapa saya cuplik di sini agar kita tahu bagaimana sih cara membantai orang-orang komunis itu. Asyik ga sih caranya. Ayo kita simak.
  • Lawang, Kabupaten Malang:
“Para anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh diikat tanggannya. Kemudian segerombolan pemuda Ansor, dengan disertai dan dilindungi oleh satu unit tentara,…, membawa mereka ke tempat pembantaian, yaitu di desa Sentong dan Kebun Raya di  Purwodadi…Kemudian mereka dipukuli dengan pentungan-pentungan dan besi dan benda-benda keras lainnya. Setelah para korban tewas, kepala mereka dipenggal.”[halaman 280]
Metode di atas umum digunakan. Orang-orang komunis dikumpulkan. Diikat seperti binatang ternak. Dikumpulkan di tempat tertetu. Dipukuli dulu dengan beraneka macam alat. Baru setelah klenger dibantai. Kepalanya dipenggal. Tak mengherankan kalau di beberapa desa Jawa setelah pembantaian 1965 kemudian muncul hantu yang disebut “gundul pringis”. Hantu ini konon berbentuk kepala saja [persis dengan kelapa] yang mringis mulutnya. Katanya banyak penduduk yang sering ditemui ketika berjalan malam-malam di tempat sepi. Tentu saja di mana pun hantu berkaitan dengan konteks sosial. Di Eropa tidak ada hantu pocong sedangkan di Indonesia ada karena memang lingkungan sosial berbeda; di Indonesia orang mati sebagian besar [karena mayoritas Islam] maka dikubur dengan cara dikafani, sedangkan Eropa yang mayoritas Kristen tidak mengenal cara penguburan seperti itu. Pun, dengan hantu “gundul pringis” di atas; ia muncul setelah 1965 ketika banyak kepala-kepala orang-orang komunis [atau yang dianggap ada sangkutpautnya] dipenggal dan seringkali tidak dikuburkan, digeletakkan begitu saja atau dibuang ke sungai.
Ayo ndak usah berlama-lama dengan hantu “gundul pringis”. Kita lanjut ke metode yang lain. Siapa tahu lebih asyik.
  • Singosari, Kabupaten Malang:
“Seorang remaja lelaki anggota IPI [Ikatan Pelajar Indonesia] dan anak Pak Tjokrodiharjo, yang adalah seorang anggota komite PKI setempat [CSS] di Kecamatan Singosari, ditangkap oleh Ansor. Kemudian tubuhnya diikat ke sebuah jip dan diseret di belakanggnya hingga tewas.”[halaman 281]
Metode yang tak kalah serunya. Silakan dibaca sambil menyereput kopi atau teh. Saya pernah membaca salah satu cerpen Pramoedya Ananta Toer dalam Percikan Revolusi dan Subuh, sebuah kisah yang terjadi pada masa revolusi. Seorang yang dianggap mata-mata ditangkap oleh warga. Kemudian dipukuli ramai-ramai tapi tidak mati-mati. Akhirnya terduga mata-mata Belanda itu diikat di belakang truk dan kemudian diseret. Sama persis dengan pemuda di Singosari tadi cara membantainya. Kalau zaman Belanda dulu bukan pakai mobil, tapi pakai kuda. Terhukum diikat kakinya pada dua kuda yang kemudian ditarik dengan arah berlawanan. Sang korban pun terbelah tubuhnya. Tentang bagaimana darah yang berceceran dan organ-organ tubuh yang terburai, silakan bayangkan sendiri.
Baiklah, kita tinggalkan kuda, lanjut ke metode yang lain. Tak kalah ngeri-ngeri sedapnya:
“Oerip Kalsum, seorang wanita lurah desa Dongkol di Singosari, adalah seorang anggota PKI. Sebelum dibunuh, dia disuruh membuka semua pakaiannya. Tubuh dan kehormatannya [kemaluannya] dibakar. Lalu dia diikat, dibawa ke desa Sentong di Lawang, di mana lehernya diikat dan dia disiksa sampai tewas.”[halaman 281]
Tata cara mengasyikkan bukan? Para pembaca sudah makan siang belum? Ini ada metode yang lain lagi. Nah, ini di daerah saya, Blitar.
  • Nglegok
“Japik, seorang tokoh terkemuka di Gerwani cabang setempat…dibunuh bersama suaminya…. Japik diperkosa berkali-kali dan kemudian tubuhnya dibelah mulai dari payudara hingga kemaluannya.”[halaman 283]
Wow, dibelah. Kayak belah durian saja. Mungkin ada yang kelewatan saya baca. Sebelum pembantaian 1965 metode “pembelahan” ini sepertinya belum dikenal. Bisa saja saya salah. Tapi yang pasti metode “belah tengah” ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai urat saraf seperti Hanibbal. Kita lanjut. Metode berikut ini juga menarik untuk disimak oleh para pembaca yang budiman:
“Nursam, juga seorang anggota PGRI Non Vaksentral dipotong-potong tubuhnya dan potongan-potongan tubuhnya itu digantung di rumah-rumah kawan-kawannya.”[halaman 283]
Anggap saja seperti memotong-motong kambing di Hari Raya Kurban. Memotong tubuh alias memutilasi tentu membutuhkan keahlian khusus. Saya pernah membaca novel Out karya Natsuo Kirino, sebuah kisah tentang kasus mutilasi di Jepang. Ternyata perlu metode-motode tertentu untuk melakukan mutilasi. Dan, di novel tersebut dikisahkan perempuan yang jago karena sudah terbiasa memotong-motong daging ketika memasak. Tapi sepertinya para pembantai orang-orang komunis itu tidak memiliki kemampuan seperti itu. Dari situ dapat diduga Nursam dipotong-potong secara serampangan saja. Alangkah mengerikannya.
Nah, metode berikut ini asyik dibaca sembari makan malam:
“Sutjipto, bekas lurah Nglegok dan seorang anggota PKI,dikebiri dan kemudian dibunuh. Ini dilakukan oleh segerombolan Ansor.”[halaman 283]
Ansor lagi pelakunya. Bagaimana mereka memperlakukan seorang perempuan? Nikmati berikut ini:
  • Garum
“Ny. Djajus, seorang perempuan yang menjadi lurah desa Tawangsari di Garum…., sedang hamil pada saat terjadinya kudeta. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh. Pak Djajus, suaminya, dicacah wajahnya dengan belati hingga tewas.”[halaman 283]
Lagi-lagi dibelah, Bro. Weh, ini dibelah dulu baru dibunuh. Bagaimana klejet-klejetnya Ny. Djayus waktu dibelah, ya? Sekarang para humanis gadungan sudah bengok-bengok [teriak-teriak] ketika ada aksi perusakan ini itu—seolah-olah paling humanis sedunia akhirat. Dulu ada yang lebih dahsyat, Men. Dan sekarang mereka hanya usul saling memaafkan dan salam-salaman saja antara korban ’65 dengan pelaku pembantaian. Maaf, para humanis gadungan di Indonesia memang para murid Srimulat sejati: pandai ndagel.
Sekarang pindah ke Kediri, Jawa Timur. Dijamin tak ada dalam film Jagal metode pembunuhannya. Mari diikuti. Jangan lupa pisang gorengnya dinikmati sebelum dingin.
  • Pare
“…Di tengah perjalan pulang, mereka [Suranto dan istrinya] dicegat dan ditangkap oleh segerombolan Ansor….Kepala Suranto dipenggal dan perut istrinya dibelah, janinnya dikeluarkan dan dicincang.”[halaman 285]
Berani mefilmkan adegan seperti itu? Janin dicincang, saudara-saudaraku terkasih. Sungguh luar biasa. Saya kadang tak yakin ini kisah nyata atau mimpi. Kita lanjutkan saja lah daripada membayangkan janin yang tentu belum lengkap organ tubuhnya itu dicincang. Oke, lanjut. Berikut ini juga aduhai tata cara membunuh orang komunis
  • Gurah
“Kasman, seorang guru di desa Ngasem, …ditangkap oleh sekelompok pemuda Ansor…Ketika akhirnya dia ambruk, mereka memenggal kepalanya, menusuknya pada sebilah bambu runcing dan meletakkannya di sebuah pos jaga…”[halaman 283]
Tak perlu dibahas lebih lanjut kan? Silakan renungkan sendiri bagaimana kepala yang ditusuk dengan bambu runcing itu. Itulah sedikit cuplikan dari buku The Indonesia Killings of 1965-1966. Lebih lengkapanya silakan baca sendiri bukunya. Sekarang ada baiknya kita pindah ke buku yang lain agar lebih bervariasi pengetahuan kita tentang tata cara membantai orang komunis.
Sekarang ke buku Making Indonesia yang dieditori oleh Daniel S. Lev dan Ruth McVey. Di halaman 201 [versi bahasa Indonesia] terdapat tulisan Geoffrey Robinson yang berjudul Pembantai Pasca Kup di Bali. Begini beberapa uraiannya:
“Kaum komunis itu ditangkap dan diangkut dengan truk ke sebuah desa lain di mana mereka dibantai dengan kelewang atau di tembak mati…Untuk mencegah tindakan-tindakan balas dendam di kemudian hari, dalam bagian besar kejadian, seluruh keluarga, atau bahkan keluarga besar dibunuh.” [halaman 240]
Metode yang hampir serupa:
“Kemudian berlangsunglah esekusi-esekusi komunal setelah desa itu mengumpulkan kaum komunis dan memukuli atau menikam mereka hingga mati.” [halaman 240]
Cara lainnya:
“Seorang akan menikam seorang korban sedangkan seorang lainnya akan memukulnya di atas kepala dengan batu karang.” [halaman 241]
Pembantaian terhadap orang-orang komunis tersebut kadang disebut sebagai nyupat, yaitu penyingkatan hidup seseorang agar segera terlepas dari penderitaan. Dengan begitu membunuh orang komunis bisa disebut sebagai amal karena telah membantu si komunis cepat kelar dari derita dunia. Luar biasa.
Sekarang ke buku Saskia Eleonora Wieringa, The Politization of Gender Relations in Indonesia Women’s Movement and gerwani Until the New Order State [edisi Indonesia berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia]. Pada halaman 510 tertulis begini:
“Kira-kira satu kilometer di utara pabrik gula Ngadiluwih [Kediri], di sana banyak terdapat tempat-tempat pelacuran. Pada waktu pembersihan terhadap orang-orang Komunis sedang berlangsung, banyak langganan yang tidak muncul untuk mencari kepuasaan seks. Alasannya: langganan itu—dan juga para pelacur—umunya sangat ketakutan. Karena di depan rumah-rumah banyak bergantungan kemaluan para perempuan Komunis—seperti gantungan pisang-pisang yang dijual…”[cetak tebal dari saya]
Saya dulu pernah kuliah dua semester di Fakultas Kedokteran Hewan. Sebagai bahan pratikum beberapa kali pernah menyayat kodok, merpati, ular sampai kambing. Dalam menyayat dibutuhkan kehati-hatian karena ingin melihat struktur anatomi hewan-hewan tersebut. Tapi saya belum bisa membayangkan bagaimana menyayat vagina seperti yang dilakukan para pembantai orang-orang komunis itu. Struktur vagina berlapis-lapis tentu akan rumit melakukan penyayatan sehingga didapatkan hasil yang baik; bahkan seperti yang ditulis Saskia: seperti gantungan pisang-pisang.
Paling tidak dari tiga buku tersebut kita bisa melihat tata cara membantai orang-orang komunis. Unik-unik bukan metodenya? Seorang anggota Ansor mengungkapkan kepada Hughes sebagai berikut [dalam buku Indonesia; Law, Propaganda and Terror]“Tidak sulit membunuh mereka. Mereka bagaikan burung yang ketakutan. Sungguh puitis: bagaikan burung yang ketakutan. Betul banget. Dengan ketakutan mereka kemudian disembelih.
Banser merupakan sayap paramiliter Ansor, menurut Julia Soulhwood dan Patrik Flanagan dalam bukunya digambarkan berpakaian hitam-hitam dalam melakukan operasi perburuan orang-orang komunis. Mereka begitu kuat di Jawa Timur sehingga tanpa bantuan tentara bisa melakukan pembantaian. Para korban hasil buruan dikumpulkan di tanah lapang di sebuah desa, dan kemudian diesekusi dengan cara yang telah dibabar di atas.
Lantas sekarang yang mucul adalah kata “memaafkan” dan “rekonsiliasi”. Orang-orang komunis yang lolos dari pembantaian tapi di penjara, yang sekarang umurnya sudah tua, dikumpulkan oleh anak-anak muda. Mereka diberikan pengertian agar mau menerima rekonsiliasi. Hasilnya kemudian di foto atau dijadikan buku. Lantas dikirim pada ndoro panding di Eropa sana sembari dikasih sedikit penyedap:telah terjadi rekonsiliasi. Lantas anak-anak muda itu menambahkan dalam kurikulum vitainya: telah terlibat dalam proses rekonsiliasi. Lantas dikirimkan sebagai pelengkap mencari beasiswa untuk sekolah di Eropa sana. Asyik. Tak tahu saya, masih muda sudah korup intelektualitasnya. Entalah.
Semua ini adalah masalah keberanian mengatakan apa adanya. Pada akhirnya saya bisa memahami mengapa Pramoedya Ananta Toer tak mau menerima maaf-maafan dan rekonsiliasi omong kosong itu. Kalau ada anak muda kampaye rekonsiliasi di depan saya, pada detik itu juga akan saya injak-injak mulutnya.***
Lereng Merapi.11.05.2013