Jumat, 01 Januari 2016

Orang2 dibalik tragedi maluku

Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku

GeorgeJunus Aditjondro
Sosiolog

CatatanPengantar:
TulisanGeorge Junus Aditjondro ini yang sebenarnya adalah sebuah makalah,tentang konflik di Maluku (Ambon) pada akhir 1990an, tak lama setelahlengsernya Soeharto.  Penyebutan sejumlah nama yang disebutGeorge sebagai ‘orang-orang Jakarta’, tentu menjadi salah satubagian paling menarik. Terutama karena nama-nama itu tak asing dalamdunia politik Indonesia selama ini, dan banyak di antaranya masihbertahan dalam dunia politik. Ada pula pemilik uang yang dikenalsebagai penyandang dana bagi banyak tokoh politik dan kekuasaan darimasa ke masa. Selain itu,  beberapa di antaranya saat ini siapterjun dalam arena perebutan kursi kekuasaan pada PEMILU  2014. Semoga tulisan ini menjadi referensi tambahan untuk menentukan pilihan dalam Pilpres mendatang, terutama calon yang berasal dari militer.


TRAGEDIkerusuhan sosial di Maluku, menurut dosen Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia, Ichsan Malik, dalam dua setengah tahunterakhir telah menelan lebih dari 9000 korban jiwa. Ia menyebutnyasebagai ‘tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia’ belakanganini (Kompas, 30 Maret 2001).
Pandanganumum yang beredar di Indonesia adalah bahwa konflik itu murni timbulkarena persaingan antara kedua kelompok agama –Kristen dan Islam–di Maluku, atau karena ulah ‘sisa-sisa kelompok separatis RMS’ disana. Berbeda dengan pandangan umum itu, penelitian kepustakaan danwawancara-wawancara penulis dengan sejumlah sumber di Maluku dan diluar Maluku menunjukkan bahwa tragedi itu secara sistematis dipicudan dipelihara oleh sejumlah tokoh politik dan militer di Jakarta,untuk melindungi kepentingan mereka.
Dalammakalah ini, penulis akan menggambarkan bagaimana konflik itu dipicudengan bantuan sejumlah preman Ambon yang didatangkan dari Jakarta,lalu mengalami eskalasi setelah kedatangan ribuan anggota LasykarJihad dari Jawa. Intensitas konflik dipelihara oleh satu jaringanmiliter aktif dan purnawirawan, yang terentang dari Jakarta sampai keAmbon. Selanjutnya, penulis juga akan mengungkapkan agenda militerdalam memelihara kerusuhan-kerusuhan itu.

Akhirnya,dalam kesimpulan penulis akan mengajukan beberapa usul untukpenyelesaian kasus Maluku.

JaringanPreman Ambon
Padatahun 1980-an, seorang preman Ambon beragama Kristen di Jakarta,Ongkie Pieters membangkitkan rasa hormat dan ketakutan di kalangankaum muda Ambon, tanpa menghiraukan agama mereka. Meskipunpenghidupan mereka didapatkan lebih dengan menggunakan otot ketimbangotak, para preman Ambon di Jakarta masih menghormati tradisi pela(persekutuan darah antara kampung Kristen dan kampung Islam). Kalauberkelahi, mereka sering memakai ikat kepala merah, yang lebihmerupakan simbol ke-Ambon-an yang berakar dalam kultur Alifuruketimbang lambang agama Samawi yang mereka anut.

Halini secara radikal berbeda dengan makna yang kini diberikan terhadap‘merah’ sebagai simbol Kristen dan ‘putih’ sebagai simbolIslam. Tidak berapa lama, seorang preman Ambon yang lain, MiltonMatuanakotta muncul ke tengah-tengah gelanggang. Ia memiliki banyakpendukung di kalangan kaum muda baik di kalangan Ambon Kristen maupunMuslim, dan dengan cepat menjadi lebih populer di kalangan premanAmbon di Jakarta daripada pendahulunya. Pada saat itu, orang-orangAmbon Muslim beranggapan perlu memiliki ‘pahlawan’ merekasendiri, maka mereka memilih Dedy Hamdun, seorang Ambon keturunanArab. Figur ini agak kontroversial, sebab di satu sisi ia aktifberkampanye untuk PPP, tetapi di sisi lain suami artis Eva Arnaz itujuga bekerja untuk membebaskan tanah bagi bisnis properti IbnuHartomo, adik ipar bekas Presiden Soeharto.

Entahkarena aktivitas politik atau bisnisnya, di awal 1998 Dedy Hamdundiculik bersama sejumlah aktivis PRD, Aldera, dan PDI-P oleh saturegu Kopassus bernama Tim Mawar yang berada di bawah komando JenderalPrabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto waktu itu. HilangnyaHamdun setelah 3 1/2 bulan dalam tahanan Tim Mawar (Siagian 1999:20-21) mengubah peta politik preman Ambon di Jakarta. Kepemimpinanpemuda Muslim Maluku diambilalih oleh Ongen Sangaji, seorang premanMaluku Muslim yang juga anggota Pemuda Pancasila. Secara ironis,dalam bersaing untuk loyalitas di kalangan kaum muda Maluku diJakarta kedua pemimpin preman itu juga bersaing dalam mendapatkanakses ke bisnis keamanan pribadi anak-anak Soeharto. Miltonmemperoleh akses ke mereka melalui Yorris Raweyai, wakil ketua PemudaPancasila yang berasal dari Papua Barat dan dekat dengan BambangTrihatmodjo.

Selainitu, Milton adalah ipar Tinton Soeprapto, pimpinan arena pacuan mobilmilik Tommy Soeharto di Sentul, Bogor. Sementara itu, Ongen lebihdekat ke Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut melalui Abdul Gafur,bekas Menteri Pemuda dan Olahraga di zaman pemerintahan Soeharto.Anak buah Ongen terutama berasal dari desa-desa Pelauw dan Kalolo diHaruku. Menjelang Sidang Istimewa MPR November 1998, ketikaB.J.Habibie berusaha mencari mandat untuk melegitimasikepresidenannya, sejumlah politisi, jendral dan usahawan menciptakankelompok paramiliter baru untuk menangkal aksi-aksi demonstrasimahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie.

KelompokPam Swakarsa ini antara lain terdiri dari preman-preman Ambon Muslimyang direkrut oleh Ongen Sangaji. Dukungan keuangan untuk kelompokini berasal dari keluarga Soeharto dan seorang pengusaha keturunanArab, Fadel Muhammad, yang dekat dengan keluarga Soeharto. Sementaradukungan politis untuk kelompok itu berasal dari Jenderal Wiranto,Menteri Pertahanan waktu itu, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Kepala StafKOSTRAD waktu itu, Abdul Gafur, Wakil Ketua MPR waktu itu, danPangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman.
Untukmeningkatkan militansi para milisi yang miskin dan berpendidikanrendah itu, mereka diindoktrinasi bahwa para aktivis mahasiswa adalah“orang-orang komunis” yang didukung oleh jendral dan pengusahaKristen. Dengan demikian banyak anggota PAM Swakarsa beranggapanbahwa mereka ber’jihad’ melawan “orang kafir”. Kenyataanbahwa bentrokan yang paling sengit antara para mahasiswa dan tentaraterjadi di kampus Universitas Katolik Atmajaya, hanya karenakedekatan kampus itu dengan gedung parlemen, memberikan kesankredibilitas dari propaganda sektarian dan anti komunis ini.

Dalamkerusuhan Semanggi menjelang Sidang Istimewa MPR itu, empat oranganak buah Ongen yang berasal dari Kailolo (Haruku), Tulehu dan Hitu(Ambon), dan Kei (Maluku Tenggara), dibunuh oleh penduduk setempatyang berusaha melindungi para aktivis mahasiswa dari serangankelompok milisi Muslim itu. Maka terbukalah peluang untuk menghasutpreman-preman Ambon Islam itu untuk melakukan balas dendam.Konyolnya, balas dendam itu tidak diarahkan terhadap para aktivismahasiswa, tetapi terhadap sesama preman Ambon yang beragama Kristen.Kesempatan itu timbul ketika terjadi kerusuhan di daerah Ketapang,Jakarta Pusat, pada hari Minggu dan Senin, 22-23 November 1998.

Apayang dimulai adalah percekcokan antara para satpam Ambon Kristen yangmenjaga sebuah pusat perjudian dan penduduk setempat segeraberkembang menjadi kerusuhan anti Kristen di mana lusinan gereja,sekolah, bank, toko, dan sepeda motor dihancurkan. Ternyata,kekuatan-kekuatan dari luar dikerahkan untuk mengubah konflik lokalitu menjadi konflik antar-agama. Kekuatan-kekuatan luar ini mencakupsekelompok orang yang mirip orang Ambon, yang menyerang lingkunganKetapang pada jam 5.30 pagi. Mereka dibayar Rp 40.000 ditambah makantiga kali sehari untuk menteror orang-orang Muslim setempat. Meskipunsalah seorang dari mereka yang tertangkap adalah orang Batak yangkemudian disiksa dan dibunuh oleh penduduk setempat, namun mayoritaspreman ini adalah orang Ambon anggota PAM Swakarsa bentukan Gafur.Mereka yang menyerang semua penduduk setempat yang terlihat melintasdi sekitarnya dan membakar semua sepeda motor yang diparkir di depanmesjid setempat yang menyebabkan jendela-jendela mesjid itu pecah.

Dipicuoleh kabar angin bahwa sebuah mesjid telah dibakar oleh ‘orang-orangkafir’, penduduk Muslim setempat balik menyerang orang-orang luartadi dengan dukungan para anggota Front Pembela Islam (FPI) yangdidatangkan dari berbagai tempat di Jakarta. Selama kerusuhan ini,enam orang meninggal korban main hakim sendiri oleh penduduk Muslimsetempat dan para anggota FPI. Tiga orang dari korban itu adalahorang-orang Kristen dari Saparua dan Haruku. Memang tidak jelasapakah rangkaian pembunuhan terhadap para preman Ambon di Senayan danKetapang itu telah dipersiapkan oleh sekutu-sekutu politik Soeharto.Yang jelas, kerusuhan di Ketapang mengukuhkan monopoli sebuah pusatperjudian lain di jalan Kunir, Jakarta. Pusat perjudian itu dikelolaoleh Tomy Winata, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan teman dekatYorris Raweyai dari Pemuda Pancasila.

Terlepasdari motif di balik pembakaran pusat perjudian di Ketapang,pembunuhan terhadap para preman Ambon Muslim dan Kristen itumengakibatkan kedua kelompok itu bertekad melakukan balas dendamterhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku. Denganmenggunakan kerusuhan Ketapang sebagai alasan, aparat keamanan diJakarta menangkap semua orang Maluku yang tidak memiliki KTP, danmenaikkan mereka ke kapal penumpang sipil maupun Angkatan Laut yangberlayar ke Ambon. Menurut seorang sumber penulis yang berlayardengan KM Bukit Siguntang ke Ambon pada bulan Desember 1998,sekelompok preman Ketapang yang menumpang di geladak kapal dengansuara keras menggembar-gemborkan niat mereka untuk membalas dendamterhadap musuh mereka di Ambon.

Dimata orang awam, langkah-langkah aparat keamanan ini tidak tampakmencurigakan, karena banyak orang Ambon Kristen pulang ke kampunghalamannya untuk merayakan Natal, sementara banyak orang Ambon Muslimjuga merencanakan untuk melalui bulan puasa dan liburan Idul Fitribersama sanak keluarga di kampung mereka.
Barukemudian tersebar berita bahwa antara 165 dan 600 pemuda Ambon telahberlayar pulang ke Ambon selama akhir tahun 1998. Di antara merekaterdapat preman Ambon Kristen yang terlibat dalam serangan fajar diKetapang, maupun Sadrakh Mustamu, kepala keamanan di pusat perjudianKetapang. Ongen Sangaji dan Milton Matuanakotta juga termasuk premanAmbon yang pulang ke Ambon pada akhir tahun 1998, untuk menyulutkerusuhan di sana.

PREMANAmbon yang datang dari Jakarta, segera melebur ke dalam kalangannyamasing-masing. Di kotamadya Ambon yang berpenduduk hampir 350 ribujiwa itu, dunia preman dikuasai oleh dua orang tokoh yang berbedakepribadiannya, Berty Loupati yang masih muda lebih merupakan seorangpreman profesional, serta Agus Wattimena yang tua, seorang penatua(anggota Majelis Gereja) yang juga jago berkelahi.

BertyLoupati adalah pemimpin kelompok ‘Coker’ yang didirikannya awal1980-an di daerah Kudamati dekat RS Dr. Haulussy setelah ia pulangdari “berguru” ilmu kriminalitas kelas teri (pettycrime)di Surabaya. Kelompok ini adalah hasil peleburan kelompok-kelompokpreman yang lebih kecil di Ambon, seperti Van Boomen, Papi Coret, SexPistol. Anggota kelompok preman gabungan itu kurang lebih seratusorang, Nasrani maupun Muslim.
Walaupunanggotanya ada juga yang perempuan, Coker semula merupakankepanjangan dari “Cowok Keren” (‘HandsomeBoys’),walaupun kemudian ada yang mempelesetkan arti Coker menjadi CowokKerempeng (‘SkinnyBoys’),karena kebanyakan anggotanya memang kurus kerempeng. Di kemudianhari, setelah konflik antar-agama mulai berkecamuk di kota Ambon,majalah mingguan Tajuk (April 1999) mengubah arti Coker menjadi‘Cowok Keristen’ (‘ChristianBoys’).Singkatan “Cowok Kristen” itu kemudian dipopulerkan oleh mediamassa yang mendukung kehadiran Lasykar Jihad di Maluku.

Diluar struktur Coker, Agus Wattimena mendirikan Lasykar Kristus,khusus dibentuk untuk berperang melawan kelompok milisi Islam asliAmbon serta Lasykar Jihad yang datang dari luar Ambon. Jagoan yangsering menyandang pistol Colt kaliber 45 mengaku punya 60 ribu anakbuah (Hajari 2000). Tidak jelas seberapa jauh kebenaran klaim Agusitu. Yang jelas, adanya dua kelompok yang sama-sama mengklaim membelakepentingan masyarakat Ambon Kristen menimbulkan rivalitas yangsangat tajam antara Berty dan Agus, apalagi setelah beredar kabarburung bahwa Berty mulai condong ke kepentingan penguasa dariJakarta. Tidak lama setelah nama Agus Wattimena diumumkan sebagai“Pimpinan Akar Rumput” (GrassrootsLeader)Front Kedaulatan Maluku (FKM), yang diproklamasikan oleh dokter AlexManuputty dan kawan-kawannya pada tanggal 18 Desember 2000, riwayatAgus tampaknya sudah tamat.

HariSelasa malam, 20 Maret 2001, Agus Wattimena tewas tertembak dirumahnya sendiri, dengan dua lubang tembakan di jidat dan lengankirinya (Jakarta Post, 22 Maret 2001). Menurut sumber-sumber LasykarJihad (laskarjihad.or.id, 21 Maret 2001), “Agus ditembak olehpesaingnya, Berty Loupatty, kepala geng Coker (Cowok Kristen), yangsatu daerah dengan Agus. Berty dan Agus memang akhir-akhir ini sudahtidak akur dan pernah terlibat baku tembak melibatkan seluruh anakbuah mereka di kawasan Kudamati beberapa bulan lalu”.
Namunmelihat pola adu domba antara sesama kelompok sipil yang semakinsering dilakukan oleh kelompok-kelompok militer di berbagai penjuruNusantara, bisa saja Agus Wattimena ditembak mati oleh seorang sniperprofesional. Soalnya, ia baru dibunuh setelah melibatkan diri secaralangsung dalam sebuah organisasi yang terang-terangan memperjuangkankedaulatan rakyat Maluku yang diproklamasikan oleh RMS tahun 1950.Jadi saat itu ia bukan lagi sekedar panglima satu kelompok milisiyang semata-mata memperjuangkan keselamatan separuh penduduk kotaAmbon yang beragama Kristen.

Kendatidemikian, buat kebanyakan orang Ambon yang beragama Kristen, kematianlaki-laki setengah ompong berumur 50 tahun itu tetap dihargaisebagaimana layaknya gugurnya seorang pahlawan. Ia dikuburkan ditengah-tengah 400 orang anakbuahnya yang telah meninggal terlebihdahulu di kota Ambon. Kematiannya tidak hanya diperingati di kotaAmbon, tapi juga oleh masyarakat Ambon Kristen di Jakarta, dihadirioleh sejumlah artis terkenal. Sementara itu, Ongen Sangaji dan MiltonMatuanakotta sudah sama-sama bersembunyi untuk menghindarkan diridari kemarahan masyarakat Ambon di Jakarta. Ongen kabarnya telahbersumpah untuk tidak akan terlibat lagi dalam proyek kerusuhan ditempat-tempat lain di Indonesia, sedangkan Milton kabarnyadisembunyikan atas perintah Jenderal (Purn.) Wiranto, yang peranannyaakan dibahas kemudian dalam makalah ini.

Eskalasidua tahap
Setelahdipicu oleh para preman Ambon dari Jakarta, konflik di Maluku dapatdibagi dalam dua tahap. Tahap pertama mulai Januari 1999 sampaidengan akhir April 2000, dan ditandai oleh saling menyerang antarapenduduk Kristen dan Muslim yang sebagian besar menggunakan senjataprimitif buatan sendiri, termasuk bom rakitan. Ada keseimbangankekuatan antara kedua belah fihak. Selanjutnya, fase kedua mulai daribulan Mei 2000, yang ditandai oleh kedatangan orang non-Maluku, yangsebagian besar adalah orang Muslim dari Jawa, Sulawesi, dan Sumatera,yang dikenal sebagai Lasykar Jihad.

Merekamembawa senjata modern dan bersekutu dengan personil militer Muslimyang berjumlah 80 persen dari pasukan yang ditempatkan di kepulauanrempah-rempah itu. Perkembangan ini secara total menghancurkankeseimbangan sebelumnya, dan menciptakan perimbangan kekuatan yangmenguntungkan orang Muslim.
Selamatahap pertama, ketika secara relatif jumlah orang yang terbunuh masihsedikit dan tingkat kebencian antar agama belum mencapai klimaksnya,maka operasi intelijen direncanakan secara cermat untukmengkondisikan kedua komunitas menerkam leher satu sama lain, segerasetelah kerusuhan sosial dipicu. Operasi-operasi intelijen inimencakup penyaluran pamflet-pamflet provokatif di kalangan pendudukdan penyaluran handie-talkiedi kalangan pemimpin kelompok-kelompok setempat agar kerusuhan dapatdipicu secara simultan dalam jangkauan yang luas. Beberapa pamflettanpa nama yang disebarkan di Ambon menjelang kerusuhan bulan Januaridan Februari 1999, memperingatkan kedua belah pihak, bahwa pihak lainsedang merencanakan untuk membakar rumah-rumah ibadah mereka, danmemperingatkan sebuah kelompok etnik bahwa kelompok etnik lain sedangmerencanakan untuk membinasakan mereka.

Pamflet-pamfletserupa disebarkan di kalangan kaum Muslim di Maluku Utara, menjelangkerusuhan bulan Agustus dan November 1999. Ditandatangani oleh parapemimpin gereja Protestan di Ambon, isi pamflet-pamflet itu mendesakorang Kristen untuk membinasakan semua orang Muslim. Salah satupamflet jatuh ke tangan aparat desa di Tidore. Sebuah pertemuandiadakan dan ketika pendeta setempat, Ari Risakotta, tidak munculuntuk menjelaskan isi surat itu, ia diserang dan dibunuh di rumahnya.Mengingat bahwa pertarungan yang masih berlangsung di Ambon, rasanyasangat tidak mungkin bahwa ada pemimpin gereja menginginkan konflikitu merambat ke daerah lain di kepulauan itu.

Jadidapat disimpulkan bahwa pamflet-pamflet ini dibuat oleh para agitatoryang sangat profesional, yang mengenal masyarakat Maluku Utara dengansangat baik. Akhirnya, setelah perang saudara berlangsung beberapabulan dan kedua belah fihak telah banyak saling membunuh, seruanjihad dikumandangkan oleh organisasi-organisasi militan Muslim yangdidukung oleh sejumlah politisi Muslim dalam tablig akbar padatanggal 7 Januari 2000 di Lapangan Monas Jakarta, yang menjadiplatformuntuk memobilisasi kekuatan-kekuatan Lasykar Jihad, untuk dikirim keMaluku.

Sepintaslalu, semua perkembangan ini tampak berlangsung secara spontan.Tetapi di bawah permukaan, ada dua jaringan yang saling berhubungan,yakni jaringan militer dan jaringan Muslim militan, yangmasing-masing punya agenda sendiri, tetapi dipersatukan oleh tujuanbersama untuk menyabot tujuan pemerintah untuk menurunkan kekuasaanmiliter dan untuk menciptakan masyarakat yang terbuka, toleran, danbebas dari dominasi suatu agama.

JaringanMiliter
Jaringanmiliter yang menjembatani kedua tahap itu terentang dari Jakartasampai ke Ambon, dan terdiri dari perwira-perwira aktif maupunpurnawirawan yang bekerja keras untuk memprovokasi orang-orang Muslimdan Kristen untuk bertarung. Mereka termasuk dalam faksi militer yangdengan kuat menentang pengurangan politik dan kepentingan bisnismiliter, atau ikut dalam jaringan ini untuk menyelamatkan diri merekasendiri dari sorotan dan kemungkinan pengadilan atas pelanggaranhak-hak asasi manusia serta kejahatan melawan kemanusiaan.
Duaorang jendral purnawirawan, tiga orang jendral aktif, dan seorangpensiunan perwira TNI/AU, terlibat dalam jaringan ini. Mereka terdiridari Jendral (Purn.) Wiranto, Mayor Jenderal Kivlan Zein, Letjen(Purn.) A.M. Hendropriyono, Letjen Djadja Suparman, Letjen SuaidyMarasabessy, Mayjen Sudi Silalahi, dan Mayor TNI/AU (Purn.) AbdulGafur.

Wirantoadalah Panglima Angkatan Bersenjata yang bertanggungjawab atas pestapora kekerasan dan kehancuran pasca referendum di Timor Lorosa’epada bulan September 1999, dan juga bertanggungjawab atas pecahnyakekerasan di Ambon, delapan bulan kemudian.

NamaKivlan Zein, pernah dikemukakan sekali oleh Abdurrahman Wahid,walaupun dengan secara agak tersamar, yakni “Mayjen K” (Tempo, 29Maret 1999: 32-33). Menurut informasi yang saya peroleh, Kivlan Zein,yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf KOSTRAD, memang ditugaskanoleh Wiranto untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR bulan November1998. Tugas itu antara lain dilaksanakan dengan pembentukan PAMSwakarsa, yang sebagian besar beragama Islam.

Untukmelakukan tugas-tugas counter-insurgencysemacam itu, Kivlan Zein punya satu sumber dana yang luar biasa,yakni kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (TRUBA), di mana ia duduksebagai komisaris (Kompas, 3 November 2000). Awal November tahunlalu, anggota Komisi I DPR, Effendi Choirie dari Fraksi KebangkitanBangsa mendesak Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI agarsecara serius menindaklanjuti hasil auditing BPK (Badan PemeriksaKeuangan) terhadap sejumlah yayasan milik TNI, yang baru sajadilaporkan ke DPR.

Disitu termasuk bisnis Yayasan Kartika Eka Paksi, pemilik seluruh sahamTRUBA itu. Sayangnya, seruan politisi PKB itu tidak ditanggapi olehpemerintah maupun para anggota DPR yang lain. Djadja Suparman adalahPangdam Jaya yang ikut bertanggungjawab atas pembentukan PAMSwakarsa. Setelah dipromosikan menjadi Pangkostrad, ialah yangmemerintahkan pasukan Kostrad di Makassar untuk terbang ke Ambon,hanya satu jam setelah bentrokan antara seorang pengendara angkutanumum Ambon Kristen dan seorang penumpang Bugis Muslim pecah di Ambonpada tanggal 14 Januari 1999.

Belakanganini ada sinyalemen di Jakarta, bahwa korupsi sebesar Rp 173 milyar dilingkungan yayasan-yayasan Kostrad ketika kesatuan militer elit itumasih berada di bawah Djadja Suparman (Tempo, 24-30 April 2001,Laporan Utama), ada hubungan dengan kerusuhan di Maluku. Sebagiandana itu digunakan untuk membiayai pelatihan dan pengiriman 6000orang anggota Lasykar Jihad ke Maluku. Paling tidak, begitulah yangdipercayai oleh para anggota Kongres AS, yang menolak normalisasikerjasama militer antara AS dan Indonesia.

SEPERTIyang telah disinggung di depan, Abdul Gafur yang mantan MenteriPemuda dan Olahraga di bawah Soeharto itu ikut terlibat dalampembentukan pasukan PAM Swakarsa tersebut, khususnya kelompok premanMaluku Muslim yang diketuai oleh Ongen Sangaji. Di kalangan orangMaluku di Jakarta, ia dikenal sangat tekun berusaha memecah-belahmasyarakat Maluku berdasarkan garis agama. Pada 15 Mei 1995, ketikakomunitas Ambon di Jakarta memperingati pemberontakan Pattimuramelawan Belanda pada tahun 1817, Gafur memboikot perayaan orangMaluku di Gedung Joang di lingkungan Menteng di mana dua pemuka agama–Kristen dan Muslim– memanjatkan doa mereka. Ia sebaliknyamengorganisir perayaan eksklusif bagi orang Maluku Muslim di TamanMini Indonesia Indah dengan mengorganisir lari membawa obor. Padakesempatan lain, Gafur mengatakan bahwa Pattimura beragama Islam,bertentangan dengan pandangan umum bahwa pahlawan nasional itu, yangsesungguhnya bernama Thomas Matulessy, beragama Kristen.

Setelahkerusuhan meletus di Ambon, dan propinsi Maluku dipecah dua menjadiMaluku Utara dan Maluku, Gafur yang beradarah campiran Ternate danAcheh itu segera berkampanye untuk menjadi kandidat Gubernur MalukuUtara, memanfaatkan koneksi-koneksi Golkarnya. Ketua DPP Golkar yangjuga ketua DPR-RI, Akbar Tanjung, mendukung pencalonan Gafur olehGolkar, yang menguasai kursi terbanyak di DPRD Maluku Utara (Gamma,17-23 Jan. 2001, hal. 39; Mandiri, 28 Febr. 2001), namun sejumlahcendekiawan asal Maluku Utara menentang pencalonan orang yang selamaini sangat bersikap menjilat pantat Soeharto dan keluarganya.

Tidaklama setelah kerusuhan meletus di kota Ambon, mulai beredarkabar-kabar burung bahwa kerusuhan itu didalangi oleh orang-orangMaluku Nasrani, yang ingin menghidupkan kembali ‘Republik MalukuSelatan’ (RMS) yang pernah dicetuskan di Ambon pada tanggal 25April 1950, dan meneruskan perjuangan mereka lewat gerilya bersenjatadi Pulau Seram hingga tahun 1964. Tuduhan itu, di mana cap ‘RMS’selanjutnya dipelesetkan menjadi ‘Republik Maluku Serani’, yangakan dibahas tersendiri di bagian ini, sejak dini ikut disebarluaskanoleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasidalam pemerintahan Habibie. Dalam sebuah pertemuan publik padatanggal 19 Maret 1999 dengan gubernur Maluku, para pemimpin agama daninformal lain, serta para mahasiswa dan pemuda di Ambon,Hendropriyono melontarkan tuduhan itu. Seorang jendral purnawirawanlain, Feisal Tanjung, yang pernah menjadi Pangab dalam kabinetSoeharto, segera menggarisbawahi tuduhan Hendropriyono itu.

Hendropriyono,memang punya kepentingan praktis untuk menyebarluaskan tuduhan itu.Soalnya, setelah Soeharto dipaksa turun dari takhta kepresidenannya,peranan Hendropriyono dalam tragedi Lampung yang menewaskan sekitar250 jiwa – termasuk perempuan dan anak-anak — padatanggal 7 Februari 1989, mulai dibongkar oleh berbagai kelompok hakasasi manusia di Indonesia. Kolonel Hendropriyono waktu itu adalahKomandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung yang memimpin operasigabungan tentara, polisi, dan Angkatan Udara, ke sebuah perkampunganpara migran dari Jawa, yang dicap sebagai Islam fundamentalis (Awwas2000).Cap itu, oleh berbagai pengamat, telah dianggap terlaluberlebihan. Sebab konflik antara pemerintah dan perkampungan Islamitu, lebih berakar pada permasalahan pembebasan tanah, yang lebihjauh lagi berakar pada sejarah pembukaan daerah Lampung oleh Belandauntuk kepentingan para transmigran dari Jawa (Wertheim 1989).

Denganmengalihkan perhatian ke Maluku, dengan cara-cara yang seolah-olahmerangkul kepentingan umat Islam, Hendropriyono untuk sementara waktuberhasil mengurangi sorotan para korban tragedi Lampung.
SuaidyMarasabessy, seorang veteran dari perang Timor yang kemudian menjadiPangdam Hasanuddin di Sulawesi Selatan, yang menyetujui pengirimanpasukan Kostrad dari Makassar ke Ambon, kendati mereka secaraemosional berpihak untuk menentang Ambon Kristen dan membela paramigran Bugis dan Makasar di Ambon, karena didorong oleh solidaritasetnik. Sebagai konsekuensinya Marasabessy dipindahkan ke Markas BesarAngkatan Darat dan dipromosikan menjadi Kasum TNI oleh PresidenAbdurahman Wahid.
Baikpromosi Marasabessy maupun Djadja Suparman didasarkan padarekomendasi dari Wiranto, waktu itu masih menjadi Menko Polkam.Wiranto kemudian mengangkat Marasabessy untuk mengepalai Team 19 yangterutama terdiri dari para perwira Maluku untuk mengadakaninvestigasi latar belakang dari kekerasan di Maluku dan menyarankancara-cara penyelesaian persoalan itu.

Selamakedua fase konflik itu, Sudi Silalahi menjadi Pangdam Brawijaya diJawa Timur, dan telah bertanggungjawab atas pengiriman pasukanBrawijaya – berdampingan dengan pasukan Kostrad – yang ikutmeningkatkan kekerasan antaragama di Maluku. Dalam kapasitasnyasebagai Pangdam Brawijaya, ia juga membiarkan ribuan anggota LasykarJihad untuk berlayar dari Surabaya ke Ambon, meskipun Presiden Wahidmenghimbau kepada seluruh jajaran TNI dan Polri untuk menghalanginya.
Harapdiingat bahwa di awal bulan-bulan kekerasan, seluruh Kepulauan Malukumasih berada di bawah Kodam Trikora yang bermarkas di Jayapura, PapuaBarat. Berarti sebenarnya Wiranto dapat mengirim pasukan Trikora dariPapua Barat ke Ambon, ketimbang mengirim pasukan dari Jawa danSulawesi Selatan, yang kebanyakan beragama Islam, untuk menghadapikerusuhan di Maluku.

Barupada tanggal 15 Mei 1999, setelah puluhan batalion tentara tersebardi Kepulauan Maluku, status Korem Pattimura ditingkatkan menjadiKodam. Di Maluku sendiri, dua orang kolonel yang waktu ituberkedudukan di Ambon ikut mengipas-ngipas api kebencian antara orangKristen dan Islam. Asisten Teritorial Pattimura, Kol. Budiatmo,memupuk hubungan dengan para Preman Kristen, khususnya AgusWattimena, untuk mempertahankan kemarahan mereka terhadap paratetangga mereka yang Muslim, sementara Asisten Intelijen KodamPattimura, Kol. Nano Sutarno, menjaga agar api tetap menyala dikalangan perusuh Muslim.
Duaorang kolonel itu, yang sudah ditempatkan di Ambon ketika SuaidyMarasabessy menjadi Komandan Korem Pattimura, juga memilikiteman-teman di kalangan atas di Jakarta. Saudara laki-laki NanoSutarno, Brigjen Marinir Nono Sampurno, adalah komandan pengawalkeamanan Wakil Presiden Megawati. Ini membuat Megawati secara praktis“tertawan” oleh agenda militer, meskipun ia justru adalah orangyang ditugaskan Presiden Wahid untuk menyelesaikan masalah Maluku.Selain kedua orang kolonel itu, yang di akhir tahun 2000 telahdipindahkan dari Maluku, beberapa orang purnawirawan dan perwiraaktif dan masih tinggal di Ambon juga memainkan peran dalammengipas-ngipas api permusuhan antaragama. Mereka adalah Brigjen(Purn) Rustam Kastor dan Letkol (Pur) Rusdi Hasanussy.

Lahirdi Ambon pada tanggal 9 Juli 1939, Rustam Kastor adalah mantanKomandan Korem Pattimura, mantan Kepala Staf Kodam Trikora (PapuaBarat), dan telah ditempatkan di Markas Besar di Jakarta. Barangkalidialah yang paling tepat dijuluki sebagai ‘bapak ideologis’ darikekerasan Maluku. Ia memberikan pembenaran ‘pseudo-ilmiah’ untukmengundang Lasykar Jihad ke Maluku, konon untuk menyelamatkan orangMuslim dari pembinasaan yang dilakukan oleh orang-orang MalukuKristen, dengan menuduh orang-orang Kristen mencoba menghidupkankembali pemberontakan ‘RMS’ tahun 1950 s/d 1964. Tidak hanyaGereja Protestan Maluku, tetapi juga PDI-P Megawati Sukarnoputricabang Maluku dituduh terlibat dalam pemberontakan itu, yangbertujuan untuk menciptakan negara Maluku yang berasas Kristen, dimana tidak ada tempat bagi orang Maluku yang beragama Islam, menurutbuku Rustam Kastor (2000) yang menjadi best-sellerdi kalangan pendukung Lasykar Jihad di Jawa.

Sesungguhnya,teori konspirasi ini pertama kali dikemukakan pada 28 Januari 1999dalam konperensi pers yang diorganisir oleh dua organisasi militanMuslim, KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) danPPMI (Persatuan Pekerja Muslim Indonesia). Teori konspirasi inisegera disebarluaskan oleh Letjen (pur) A.M. Hendropriyono, sepertiyang telah dijelaskan di depan. Seorang jendral purnawirawan yanglain, Feisal Tanjung, bekas Pangab dalam kabinet Soeharto danterakhir menjabat sebagai Menko Polkam dalam kabinet Habibie, ikutmenggarisbawahi tuduhan Hendropriyono.

Teoriini kemudian menyebar seperti api yang membakar ranting-rantingkering setelah disiarkan oleh sebagian media massa di Indonesia, dimana singkatan RMS diplesetkan menjadi ‘Republik Maluku Serani’.Plesetan itu mendistorsi kenyataan seolah-olah semua orang AmbonKristen mengambil bagian dalam mendirikan gerakan kemerdekaan ini,dan seolah-olah orang Ambon Islam semuanya menolak pemberontakan itu.
DisertasiRichard Chauvel tentang pemberontakan itu (1990) menunjukkanketidakbenaran pelesetan ‘Republik Maluku Serani’, dan bahwa RMSbukan bertujuan membentuk negara Kristen. Chauvel jelas-jelasmembeberkan bagaimana salah seorang pemimpin RMS yang diperiksa olehTNI setelah pemberontakan di Ambon berhasil ditumpas adalah IbrahimOhorella. Raja (kepala desa) Tulehu itu malah menjadi tuan rumahrapat-rapat persiapan proklamasi RMS, mengerahkan sebagian besarwarga desanya untuk menghadiri proklamasi RMS di alun-alun kota Ambonyang dihadiri sekitar 9000 orang, dan memasok kebutuhan sagu senilaiRp 25 ribu (waktu itu) untuk makanan para serdadu Angkatan Perang RMSsebelum Tulehu diduduki oleh TNI. Sebaliknya, masyarakat Kristen diAmbon serta orang Ambon Kristen di luar Ambon juga tidak sepenuhnyamendukung proklamasi RMS. Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM)sendiri, bersikap netral terhadap proklamasi itu.
Seorangtokoh Ambon di Jakarta yang kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri,Dr. J. Leimena, dipercayai oleh Soekarno untuk berunding denganpencetus RMS untuk mengakhiri gerakan mereka. Setelah hampir setahundisebarkan oleh berbagai media di Indonesia, teori ini diabadikanoleh Rustam Kastor ke dalam bentuk buku (2000), yang telah menjadipaling laku, tidak hanya di lingkungan Muslim tertentu di Maluku,Jawa dan Sulawesi. Selain dari bahasa provokatifnya tentang orangKristen, buku itu menuding aksi demonstrasi mahasiswa Ambon secarabesar-besaran pada bulan November 1998, sebagai tahap ‘pematangansituasi’ bagi pemberontakan RMS yang didukung oleh GPM danPDI-Perjuangan cabang Maluku.

MenurutKastor, demonstrasi itu merupakan upaya yang sadar untuk memperlemahmiliter, sehingga mereka tidak akan dapat menghancurkan‘pemberontakan RMS’ selanjutnya yang bertujuan untuk membersihkanMaluku dari penduduk Muslimnya. Kastor juga menuduh orang-orangKristen memanipulasi gerakan reformasi yang dipimpin mahasiswa untukmenghancurkan perekonomian Indonesia, dan dengan demikianmempromosikan disintegrasi Republik dengan memisahkanprovinsi-provinsi yang didominasi Kristen di Indonesia bagian Timur–termasuk Timor Lorosa’e– yang kemudian dapat membentuk negarabaru yang didominasi Kristen dengan sumber-sumber daya alami yangfantastik, karena negara itu akan meliputi Papua Barat dan provinsiMaluku yang sekarang.
Apayang diabaikan Kastor dalam bukunya adalah kenyataan bahwa gerakankemerdekaan Timor Lorosa’e dan Papua Barat ikut dipimpin olehtokoh-tokoh Muslim setempat, seperti Mar’i Alkatiri yang kinimenjadi Menteri Ekonomi dan sumberdaya Alam dalam pemerintahantransisi di Timor Lorosa’e, serta Thaha Mohamad Alhamid, SekjenPresidium Dewan Papua yang kini sedang ditahan oleh pemerintahIndonesia di Papua Barat. Alkatiri dan Alhamid tentu saja tidakberjuang untuk menciptakan suatu aliansi negara Kristen di TimurIndonesia. Di samping itu, kehendak untuk memisahkan diri dari NegaraKesatuan Republik Indonesia bukanlah merupakan monopoli Kristensebagaimana ditunjukkan oleh rakyat Aceh. Selain menulis buku untukmembenarkan perang antaragama di Maluku, Kastor terlibat aktifmempersiapkan kedatangan Lasykar Jihad di Maluku, dan memupukfanatisme mereka melalui khotbah-khotbah yang membakar.

TOKOHselanjutnya, H. Rusdi Hassanusi, mungkin merupakan satu-satunyaperwira polisi aktif yang memimpin sebuah cabang Majelis UlamaIndonesia. Pada bulan Juli 1999, ketua MUI Maluku itu pergi keMakassar untuk merekrut enampuluh orang anggota Muhammadiyah danmengapalkan mereka ke Ambon untuk bergabung dengan milisi Muslimlokal (TPG, 1999). Secara ironis, ia kehilangan anaknya, Alfian(“Eki”) Hassanusi (10), sersan polisi yang secara fatal dilukaioleh penembak gelap pada hari Rabu, 17 Mei, 2000.

Denganbegitu banyak tokoh militer yang terlibat dalam menghasut kekacauandi Maluku, maka tidaklah mengherankan jika para serdadu itu dapatberoperasi dengan bebas di kedua provinsi kembar itu, di mana sampaiMei 2000, 70% dari para korban di kedua belah pihak dibunuh ataudilukai dari tembakan senjata organik militer dan polisi. Padadasarnya, tiga kesatuan tentara dan satu kesatuan polisi telahmengambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran itu, yaknipasukan-pasukan Kostrad, Brawijaya, Kopassus dan Brimob. KeterlibatanKopassus tidak begitu kentara sebagaimana tiga kesatuan lain, yangtelah didokumentasikan dengan baik oleh para jurnalis asing. Paratentara Kopassus sering menyamarkan dengan menggunakan jubah Arab danjenggot palsu sebagai ciri Lasykar Jihad, atau menggunakan kaos-kaosLasykar Maluku sebagai ciri dari milisi Kristen.
Beberapaorang dari mereka ditangkap sebelum mencapai Ambon, sebagaimanaterjadi ketika empat orang tentara Kopassus berambut panjang ditahandi atas kapal KM Lambelu, pada 5 Agustus 2000, kira-kira 70 orangperwira Kopassus dilihat oleh para jurnalis dan para relawankemanusiaan meninggalkan Ambon dengan menumpang pesawat terbangmiliter Hercules, dengan mendorong sebuah peti kayu besar yang berisiperlengkapan mereka ke dalam pesawat terbang. Mereka memakai seragamloreng, lengkap dengan lencana Kopassusnya. Kehadiran para anggotaKopassus di Ambon itu sudah diketahui oleh para jurnalis sejakJanuari 1999.

KehadiranKopassus di antara Lasykar Jihad dapat disimpulkan dari ketrampilantempur mereka yang khas –seperti menembak dan melempar granat daridalam drum minyak yang kosong yang digelindingkan oleh anggotaLasykar Jihad ketika menyerang kampus UKIM (Universitas KristenIndonesia Maluku)– atau dengan kelaziman dari para penembak gelap,yang sering bertindak secara tenang dan berhati-hati untuk menetapkanjumlah korban yang setara bagi kedua komunitas, dalam setiapkonfrontasi antaragama. Memang tembakan kepala yang fatal tidakmerupakan monopoli anggota Kopassus, dan telah dikuasai pula olehpasukan-pasukan khusus Angkatan Darat memiliki waktu dan kesempatanyang lebih lama untuk mengembangkan keterampilan yang mematikan iniselama masa tugas mereka di Timor Lorosa’e dan berkat latihanbersama para penembak jitu SAS di Australia.

Tanpadukungan militer ini, Lasykar Jihad sendiri pada tanggal 21-22 juni2000 tidak mungkin menghancurkan markas Brimob di Tantui, Ambon,membakar asrama yang dihuni kira-kira 2.000 orang anggota Polri dananggota keluarga mereka, menghancurkan dua gudang amunisi, danmencuri 832 pucuk senjata, 8.000 butir peluru, dan lusinan seragamBrimob.

JaringanMuslim
Berbicaratentang Lasykar Jihad membawa kita pada jaringan Muslim militan, yangbekerjasama dengan jaringan militer yang diuraikan sebelumnya, untukmengirimkan enam ribu orang pemuda Muslim ke Kepulauan Malukudiharapkan dapat ‘membebaskan saudara laki-laki dan perempuanMuslim mereka dari para penindas Kristen mereka’.

Kebanyakanpemimpin massa yang direkrut untuk mengobarkan Jihad di Malukuberasal dari arus kaum militan Muslim baru, yang mengikuti ajarangerakan Wahhabi. Gerakan internasional ini bertujuan untuk kembalikepada Islam dari generasi awal yang didanai oleh para anggotadinasti Saud. Gerakan itu dinamai dengan nama pendirinya, Muhammadbin Abdul-Wahab (1705-1787), yang ajarannya diterapkan oleh IbnuSaud, ketika ia mendirikan monarki Saudi pada tahun 1925. DiIndonesia, mereka berkembang pesat di luar dua organisasi Muslim yangpaling besar –Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah– dalam gerakanTarbiyah, yang membentuk jamaah salaf di kalangan mahasiswa dibeberapa universitas negeri yang bergengsi, seperti ITB. Tujuannyaadalah untuk mendirikan negara Islam, karena itu mereka juga dikenalsebagai gerakan ‘neo-NII’, untuk membedakan mereka dari gerakanbawah tanah yang pernah dihubungkan dengan operasi intelijen almarhumJendral Ali Murtopo.

Seorangaktivis ‘neo NII’ adalah Al-Chaidar, berasal dari Aceh, yangmengorganisir tabligh akbar yang dihadiri antara 40.000 sampai 10.000Orang di Monumen Nasional Jakarta pada tanggal 7 Januari 2000.Tabligh akbar yang menghimbau agar orang Muslim berjihad ke Ambondihadiri oleh Amien Rais, ketua MPR, Hamzah Haz, mantan menteri dalamkabinet Wahid, Fuad Bawazier, mantan menteri dalam kabinet Soeharto,serta 22 organisasi Muslim militan, termasuk KISDI, PPMI, FPI danAsosiasi Muslim Maluku yang dipimpin oleh Ongen Sangaji.

Keterlibatandari tokoh-tokoh politisi Poros Tengah seperti Amien Rais, HamzahHaz, dan Fuad Bawazier itu, tidak terlepas dari perbedaan pendapatmereka dengan Presiden Abdurrahman Wahid soal peranan Islam dalamkehidupan bernegara di Indonesia. Dirintis melalui ICMI di bawahpimpinan BJ Habibie, para politisi Islam itu mengkampanyekan“demokrasi proporsional” dalam sistem politik dan ekonomiIndonesia. Maksudnya, karena umat Islam merupakan mayoritas pendudukIndonesia, maka mereka harus mendominasi pemerintahan, tentara,parlemen, dan ekonomi Indonesia, yang menurut mereka saat itu masihdidominasi oleh golongan minoritas Kristen dan Tionghoa (Hefner 2000:141-142., 147-148. 150, 212).

Sikapitu justru bertolakbelakang dengan sikap politik Abdurrahman Wahid.Makanya ia menampik tawaran masuk ICMI dan sebaliknya ikut mendirikanForum Demokrasi (Fordem) bersama sejumlah cendekiawan non-Muslim(Hefner 2000: 162). Sikap itu dilanjutkannya setelah dipilih menjadiPresiden dengan dukungan Poros Tengah, Golkar dan militer. Takketinggalan, Wahid pun menganjurkan rekonsiliasi dengan kaum kiri diIndonesia dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. 25 Tahun1966 yang melarang penyebaran faham Marxisme-Leninisme di Indonesia.Berbagai ‘penyimpangan’ ini – di mata para politisi PorosTengah, Golkar dan militer – mendorong munculnya aliansi untukmendongkel Wahid dari kursi kepresidenannya dengan antara lainmenggunakan kerusuhan Maluku sebagai tongkat pendongkel.

Kembalike mereka yang bergerak di garis depan, patut digarisbawahi bahwakomandan Lasykar Jihad di Maluku, Ustadz Ja’far Umar Thalib, jugaberasal dari gerakan Wahhabi. Ia adalah imam gerakan Salafi diIndonesia yang berkiblat ke Arab Saudi. Alumnus pesantren Persis diBangil itu melanjutkan sekolah ke Maududi Institute di Lahore,Pakistan, dan dari sana bergabung dengan gerilyawan Taliban diAfghanistan (1987-1989). Keterlibatan Lasykar Jihad berperang melawankaum Kristen di Maluku itu karena turunnya sebuah fatwa, awal 2000yang lalu, dari salah seorang Imam Salafi di Yaman yaitu SyaikhMuqbil Bin Had Al Wadi’. Fatwa itu dikeluarkan khusus untukberjihad di Maluku, tidak di seluruh Indonesia.

DiMaluku Utara yang dominan Muslim, ada ikatan yang kuat antara LasykarJihad dan Partai Keadilan, melalui ideolog partai itu, Drs. H. AbdiSumaiti alias Abu Rido. Mantan dosen agama Islam ITB itu, yang kiniWakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan, pernah kuliah diUniversitas Madinah, di mana ia bergabung dengan gerakan Wahhabi. AbuRido juga menentang sekte-sekte Islam lain yang dirasakannya tidakmengajarkan doktrin yang benar. Majalah Sabili yang dimulainya ketikagerakan ‘neo-NII’-nya masih di bawah tanah, merupakan salah satucorong Lasykar Jihad.

Sementaraitu, dukungan politis bagi Lasykar Jihad di dalam Angkatan Bersenjatatidak hanya berasal dari faksi Wiranto di TNI/AD. Gerakan militanMuslim ini juga menikmati dukungan diam-diam dari berbagai faksi diPolri dan Angkatan Laut. Meskipun Presiden Wahid memerintahkanseluruh jajaran TNI dan Polri untuk mencegah pasukan Lasykar Jihadmeninggalkan Jawa, namun Kapolda Jawa Timur waktu itu, Mayjen Da’iBahtiar, membiarkan saja mereka berlayar dengan kapal Pelni, KMRinjani, dari Surabaya ke Ambon. Ini barangkali ada hubungannyadengan pernyataan komandan Lasykar Jihad, Ja’far Umar Thalib, yangmengklaim punya ‘hotline’ langsung ke Panglima TNI, LaksamanaWidodo (Fealy 2001).

Kenyataannya,para anggota Lasykar Jihad juga dibiarkan mengapalkan senjata merekadengan kapal lain, KM Tanto Sakti, yang disembunyikan dalamkotak-kotak sabun dalam 200 buah peti kemas, yang mencapai Ambonsetelah kedatangan pasukan itu. Di Ambon, aparat keamanan membiarkansaja peti-peti kemas penuh senjata itu diturunkan di pelabuhan YosSudarso yang dikuasai komunitas Muslim di Waihoang, bukan dipelabuhan Angkatan Laut di Halong.

AgendaMiliter
Dilihatdari langgengnya pembunuhan antaragama di Kepulauan Maluku,penyebaran Lasykar Jihad yang cepat di kedua provinsi kembar itu,keberfihakan sejumlah besar anggota TNI dan Polri dengan fihak-fihakyang bertikai, serta ketegaran para perwira dari faksi Wiranto, dimana tidak seorang pun telah diajukan ke pengadilan atau bahkandiselidiki keterkaitannya dengan konflik berkepanjangan di Maluku,orang tidak dapat lagi mempercayai retorika resmi di Indonesia bahwayang terlibat hanyalah “oknum-oknum pembangkang” (rogueelements).Makanya, penjelasan mengenai kerusuhan yang berkesinambungan diKepulauan Maluku harus ditemukan dalam kepentingan-kepentinganmiliter yang lebih sistemik.

DENGANmenganalisis data dan mengkaji cara berfikir dan operasi militer,dapatlah dikatakan bahwa ada lima agenda militer dalam melanggengkankonflik di Maluku. Agenda yang pertama dan paling langsung adalahmembalas oposisi para mahasiswa terhadap dwifungsi ABRI denganmengalihkan konflik vertikal menjadi konflik horisontal; agenda yangkedua adalah mempertahankan konsep Wawasan Nusantara; agenda yangketiga adalah mempertahankan struktur teritorial TNI, khususnyaAngkatan Darat; agenda yang keempat adalah mempertahankan kepentinganbisnis militer; sedangkan agenda yang kelima yang tidak kalahpentingnya ketimbang semua agenda di atas adalah mencegah pemeriksaandan peradilan para perwira tinggi dan purnawirawan ABRI yang dituduhterlibat kejahatan korupsi serta pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Pertama-tama,pemicuan konflik horisontal di Maluku dan di tempat-tempat lain diIndonesia sengaja dilakukan oleh militer untuk membelokkan perhatianjauh dari tuntutan para mahasiswa untuk penghapusan dwifungsi ABRI.Ini telah dicapai, tidak hanya dengan penghancuran dua kampus di manapara mahasiswanya berada di front depan dalam gerakan reformasi diMaluku, tetapi juga dengan menimbulkan perpecahan agama antara paramahasiswa Muslim dan Kristen di provinsi itu, dan dalam tingkattertentu, di Indonesia pada umumnya.
Kedua,penarikan diri aparatur negara Indonesia secara terpaksa dari TimorLorosa’e telah meninggalkan satu lubang yang rawan dalam rantaipertahanan di wilayah Indonesia timur. Menurut doktrin pertahanan TNIyang dikenal dengan istilah Wawasan Nusantara, pulau-pulauberpenduduk berfungsi untuk membentengi laut pedalaman (territorialsea),dalam hal ini Laut Banda.

Maka,dengan lepasnya Timor Lorosa’e, di mata TNI rantai kepulauan untukpertahanan negara di kawasan timur Indonesia telah diperlemah secaraserius. Maluku, yang terletak di sebelah utara Timor Lorosa’e,secara langsung berhadapan dengan ancaman potensial dari Selatan,khususnya ancaman yang dirasakan oleh TNI dengan kehadiran ribuanpasukan PBB, yang didominasi oleh angkatan bersenjata Australia, diTimor Lorosa’e.
Selaindari putusnya rantai pertahanan geo-strategis akibat lepasnyasetengah pulau Timor dari wilayah NKRI, sebagian besar pendudukKristen di Maluku dipandang kurang dapat dipercaya di mata militeruntuk mempertahankan sisi Tenggara NKRI, karena diyakini bahwa merekamungkin memiliki kecenderungan separatis yang sama sebagaimana rakyatTimor Lorosa’e yang mayoritas beragama Katolik.

Darisudut militer perlu penyesuaian demografik strategik di Maluku berupapengiriman ribuan anggota Lasykar Jihad yang akhirnya diharapkanmenetap di kepulauan itu dengan membawa keluarga mereka dari Jawa danpulau-pulau lain. Pertukaran penduduk Maluku itu diharapkan dapatmencegah Maluku dari mengikuti contoh Timor Lorosa’e untukmemisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agendamiliter yang ketiga, yakni mempertahankan struktur teritorial TNI,dapat ditunjukkan dari keputusan Jendral Wiranto meningkatkan KoremPattimura menjadi Kodam, sehingga dengan demikian membenarkanpenempatan pasukan yang lebih banyak di Maluku. Untuk mengklarifikasihal ini, kita perlu memahami struktur territorial Angkatan Darat, dimana garis komando terentang dari Kepala Staf Angkatan Darat kePanglima Kodam, dengan komandannya adalah jendral berbintang dua.

SetiapKodam terdiri dari empat sampai enam Korem yang dikepalai olehseorang kolonel. Di bawah Korem adalah Kodim yang dikepalai olehletnan kolonel. Setiap Kodam memiliki sejumlah batalyon yang mewakilispesialisasi pelayanan yang berbeda-beda di dalam Angkatan Darat.Batalyon-batalyon yang dikomandani oleh seorang mayor atau letnalkolonel itu merupakan tulang punggung struktur teritorial AngkatanDarat. Akhirnya, di samping unit-unit yang berdasarkan wilayah adabatalyon-batalyon dengan kemampuan tempur khusus, yakni Kopassus danKostrad.

Dibawah Panglima Angkatan Bersenjata Jendral Wiranto, Angkatan Daratmerencanakan untuk membangun kembali tujuh belas Kodam, yang olehpendahulunya, Jendral Benny Murdani, telah dikurangi menjadi sepuluh.Menurut rencana Wiranto, selain dari menghidupkan kembali KodamPattimura yang lama, Kodam-Kodam lain yang pernah ada antara tahun1958 dan 1985 juga akan dihidupkan kembali.

Untukmenemukan dasar pemikiran dalam menciptakan kembali komando-komandodaerah militer yang terbengkalai perlu ditunjukkan bahwapasukan-pasukan itu dibutuhkan untuk menghadapi keresahan diwilayah-wilayah itu. Lalu, setelah pasukan itu disebarkan, merekaperlu ditempatkan secara permanen di sana. Dengan kata lain, untukmembenarkan kehadiran para pemadam kebakaran itu, maka kebakaranharus ditimbulkan.
Pentingnyastruktur teritorial ini tidak dapat diremehkan, karena inilah tulangpunggung militer untuk melaksanakan fungsinya sebagai kekuatanpolitik, di samping fungsinya sebagai kekuatan pertahanan, yangdikenal dengan doktrin ‘dwifungsi ABRI’. Struktur teritorial inisejajar dengan struktur pemerintah, semacam negara di dalam negara,di mana instruksi mengalir dari puncak (ibu kota nasional) ke dasar(kecamatan), sementara uang suap untuk memudahkan promosi sebaliknyamengalir dari dasar ke puncak.

Berbicaratentang uang suap adalah berbicara tentang agenda keempat dalammelanggengkan kekerasan di Maluku, yakni untuk mempertahankankepentingan ekonomi militer. Ada perwira aktif maupun purnawirawanyang merasa terancam oleh prospek desentralisasi. Jika rencanaotonomi daerah dan pembangian pendapatan daerah mulai diwujudkantahun ini, maka parlemen-parlemen daerah akan memiliki kekuasaanuntuk membatalkan atau menolak untuk memperbaharui kontrak yangmenguntungkan perusahaan yang didukung militer di bidang perikanan,kehutanan dan pertambangan. Kerusuhan-kerusuhan di daerah akanmenunda kerugian-kerugian semacam itu.

Malukusesungguhnya sarat dengan kepentingan bisnis militer, yang sebagianbesar diperoleh dari konglomerat yang beroperasi di Maluku.Kepentingan ekonomi ini juga tidak terbatas pada Angkatan Darat,tetapi juga pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara. PT Green Delta,adalah sebuah Perusahaan yang dimiliki oleh Angkatan Udara, yangmemasok kayu glondongan dari konsesi mereka seluas 74.000 hektar dipulau Morotai untuk penggergajian perusahaan Barito Pasific di pulaulain di Maluku Utara.
Memang,Maluku bukan satu-satunya wilayah yang sarat kepentingan bisnismiliter, karena ini merupakan fenomena yang berlingkup nasional.Soalnya, sekitar 75 persen dari pengeluaran militer diperoleh daribisnis Militer dan cara-cara lain. Kegiatan penghimpunan dana inibiasanya tidak Tunduk pada penelitian publik yang cermat: parakomandan militer memiliki Akses terhadap sejumlah besar uang yangdapat digunakan untuk membiayai manuver-manuver politik di masadepan. Skandal korupsi Rp 189 milyar rupiah di Yayasan Dharma PuteraKostrad, yang berhasil dibeberkan oleh Letjen Agus Wirahadikusumah,hanyalah merupakan puncak gunung es. Setelah membeberkan skandal itu,Wirahadikusumah serta merta digeser dari jabatannya sebagaiPangkostrad.

Celakanyabagi rakyat kecil di Maluku, ketika kekerasan di sana sudahmemperoleh momentumnya sendiri, pasukan yang tersebar di Maluku mulaimenemukan caranya untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri. DiAmbon, para serdadu memberikan ‘jasa perlindungan’ bagi pengusahadan orang-orang yang harus melewati rute-rute berbahaya, misalnyamelalui desa-desa yang sedang berperang atau dari dan ke pelabuhanudara dan pelabuhan laut.

AnggotaBatalyon 321 Kostrad dilaporkan menyerang tiga bank di Ambon padahari Minggu, 16 Juli, 2000, dan menganiaya satpam bank-bank itu,ketika mereka tidak diberi kunci tempat penyimpanan uang kontan. DiMaluku Utara, serdadu Brawijaya mencuri kelapa dari para petaniMuslim, dan memaksa para pekerja Kristen untuk mrmproduksi kopra yangakan diekspor oleh para serdadu ke Manado. Dan di kedua provinsi,militer menjadi sumber utama mengenai persenjataan dan amunisi bagikedua belah pihak yang berperang. Mereka juga menjadi penembakbayaran bagi siapa yang memberikan upah paling tinggi.

Akhirnya,agenda militer yang kelima didasarkan pada observasi bahwapertempuran di Maluku sering berkobar kembali manakala interogasiterhadap mantan Presiden Soeharto mengenai korupsinya, atauinterogasi terhadap mantan Jendral Wiranto mengenai perannya dalamkekerasan pasca referendum di Timor Lorosa’e sedang dijalankan.Celakanya, militer tidak tampak ingin mengurangi peran mereka.Sebaliknya, Pangdam Pattimura, Brigjen I Made Yasa secara terbukamenyatakan bahwa TNI sedang mempertimbangkan untuk membentukKodim-Kodim baru untuk dua kabupaten baru di Buru dan Maluku TenggaraBarat.

Kesimpulan& Saran-saran
Kekerasanantaragama yang berkesinambungan di Kepulauan Maluku dimatangkan dandipertahankan oleh jaringan militer yang didukung oleh sebagianpolitisi Poros Tengah. Jaringan militer dan kaum militan Muslim yangjalin-menjalin ini mengeksploitasi etno-religius yang membara diMaluku, dengan menggunakan preman Ambon untuk memicu kekerasankomunal, dan kemudian menyebarkan ribuan militan Muslim setelahpertempuran internal di Maluku agak mereda. Dalam fase konflik ini,sifat kekerasan beralih dari konflik antardesa menjadi perangterbuka, di mana desa-desa Kristen harus mempertahankan diri dariserangan ribuan anggota Lasykar Jihad, yang secara terbuka didukungpula oleh militer aktif.

Situasiini paralel dengan perang antara pejuang pro-kemerdekaan dan milisipro-Indonesia yang didukung oleh TNI dan Polri, sebelum dan sesudahreferendum yang diawasi PBB di Timor Lorosa’e. Sementara di TimorLorosa’e ABRI memilih untuk mendukung kekuatan paramiliter TimorLorosa’e yang beragama Katolik, di Aceh mereka berkolaborasi denganmantan gerilyawan Aceh, sedang di Maluku militer memilih untukbekerjasama dengan kaum militan Muslim yang didatangkan dari Jawa dankepulauan lain.

Kerusuhansosial di Maluku memenuhi beberapa tujuan strategis dari ABRI, yangpada akhirnya bermaksud mengkonsolidasikan kekuasaan politik danekonomi mereka, yang sedang terancam oleh gerakan reformasi sertadesentralisasi politik ke daerah-daerah. Mungkin sekali bahwa LasykarJihad dan para politisi pendukung mereka di DPR menyadari sifat‘sementara’ dari aliansi taktis mereka dengan tentara, dan sedangmencoba untuk memanfaatkan aliansi ini demi keuntungan mereka, denganmenggunakan keresahan di Maluku untuk memperlemah kemampuanpemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Namunsesungguhnya, kartu terakhir masih berada di tangan militer,sebagaimana dibuktikan dalam Sidang Tahunan MPR di mana jangka waktufraksi TNI/Polri bukannya diperpendek, melainkan diperpanjang limatahun lagi.
Denganmempertimbangkan bahwa rezim di Jakarta telah dibajak oleh kekuatanyang menolak mengakhiri kekerasan di Kepulauan Maluku, tampaknyatidak ada pilihan lain selain menggunakan tekanan internasionalterhadap Pemerintah Indonesia –khususnya terhadap ABRI dan parapendukung mereka di DPR– oleh PBB dan semua badan terkait, termasukKomisi HAM di Jenewa dan Dewan Keamanan di New York, untuk mengakhiripenderitaan rakyat di provinsi kembar Maluku dan Maluku Utara.

Tekananpolitik ini harus dibarengi dengan tekanan terhadap sumber-sumberkeuangan militer Indonesia, untuk mengurangi kemampuan ABRImengadudomba rakyat sipil di wilayah-wilayah yang jauh dari Jakarta,dari Aceh sampai ke Maluku dan Papua Barat.