Kisah Kekejaman Suharto dan Menantu Catatan Kelam Bin Kejam Orde Baru
Oleh Redaksi pada
Click to comment
Jakarta|AP– Situs
http://celotehpemilu.com melansir sebuah tulisan tentang Rezim orde baru
lahir setelah kudeta yang dilakukan oleh Soeharto terhadap Bung Karno.
Sebuah surat yang dikenal Surat Perintah 11 Maret yang dikenal
Supersemar dijadikan Soeharto sebagai pengambil alihan kekuasaan dari
tangan sang proklamator. Padahal surat perintah itu tidak hanya sebagai
surat perintah biasa yang diberikan seorang panglima tertinggi
(Presiden) kepada seorang Parjurit TNI.
Namun tidak demikian hal nya dengan
Soeharto, ia menjadikan supersemar itu sebagai jalan emas untuk
menurunkan Soekarno. Sejak saat itulah, Indonesia menjadi neraka. Neraka
bagi orang-orang kritis yang berani melawan penguasa. Untuk
melanggengkan kekuasaannya, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto membungkam lawan politik dengan segala cara. Salah satunya
melalui penangkapan dan penculikan yang berakhir di tempat-tempat
penyiksaan. Jadilah di tanah air berserakan tempat penyiksaan yang
menimbulkan ketakutan massal dan trauma panjang.
Tempat-tempat penyiksaan itu menjadi
saksi sejarah kejahatan terhadap kemanusiaan rezim Soeharto yang begitu
meluas dengan ribuan orang menjadi korban. Soeharto dan Orde Baru
dikenal sebagai rezim yang kejam melalui pembunuhan, penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, serta berbagai perbuatan tak
berperikemanusiaan. Semua itu dijalankan untuk mempertahankan tahta
selama 32 tahun.
Salah satu saksi bisu sejarah kelam
rezim Soeharto adalah tempat-tempat penyiksaan yang jumlahnya mencapai
ribuan. Ratusan ribu orang pernah merasakan kekejaman tempat-tempat
penyiksaan tersebut. Di Jakarta saja terdapat ratusan tempat penyiksaan.
Setelah rezim itu tidak berkuasa lagi, kini banyak bekas tempat
penyiksaan yang beralih fungsi. Ada yang dibiarkan kosong. Ada pula yang
masih digunakan sebagai markas militer.
Banyak orang yang mengalami penyiksaan
di tempat-tempat angker itu bertutur betapa keji penyiksaan saat rezim
Soeharto berkuasa. Contohnya kisah penyiksaan di Kalong, Gunung Sahari,
Jakarta Pusat. Di markas Operasi Khusus (Opsus) ini ada seorang
perempuan yang digantung dengan kepala di bawah dan bulu kemaluan
dibakar. Banyak pula korban yang disetrum listrik, disundut rokok, serta
beragam kisah mengerikan.
Tempat penyiksaan yang paling terkenal
di ibu kota negara adalah Gang Buntu, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Banyak tokoh oposisi Orde Baru pernah merasakan pedihnya disiksa di
tempat ini. AM Fatwa, misalnya. Tokoh Islam radikal ini dua kali “dibon”
di Gang Buntu.
Tempat yang juga menyeramkan adalah
markas Polisi Militer di Guntur, Menteng Dalam, Jakarta Pusat. Di tempat
yang sampai sekarang masih digunakan sebagai markas Polisi Militer ini
banyak “musuh” Soeharto, terutama tahanan peristiwa 1965, pernah
mengalami penyiksaan keji.
Tempat lain yang tak kalah seram adalah
bekas kantor Lembaga Sandi Negara di Jalan Latuharhary. Banyak orang
yang disiksa di bunker di kantor ini. Kini gedung ini digunakan sebagai
kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sampai sekarang banyak satpam
di kantor ini mengku melihat “penampakan” korban-korban penyiksaan.
Bunker di gedung itu baru dibongkar pada tahun 2006 saat kantor Komnas
HAM ini direnovasi.
Dari semua tempat tersebut, tempat
penyiksaan yang paling seram adalah Kremlin. Kremlin singkatan dari
Kramat Lima, kantor Opsus di Jalan Kramat Lima, Jakarta Pusat. Tidak
sedikit aktivis yang pernah mencicipi kekejaman di tempat tersebut.
Ditengah-tengah kekejaman ini, lahirnya
seorang prajurit TNI yang diberi nama Prabowo Subianto. Disaat rakyat
Indonesia dibungkam dengan segala tindakan keji Soeharto dari Sabang
sampai Merauke, disaat Demokrasi dirampok dari tangan rakyat, Parbowo
justeru sebaliknya ia menikamti glamornya Ring-1 Soeharto. Tak cukup
disitu, Prabowo pun menikah dengan Siti Hediati Hariyadi atau yang akrab
disapa dengan Titiek Soeharto yang merupakan Putri keempat Soeharto
pada tanggal Mei 1983.
Keglamoran keluarga Cendana pada saat
itu memang sudah terkenal gaya hidup mewah bertolakbelakang dengan
masyarakat dikampung-kampung. Majalah Time pernah menurunkan laporan
kekayaan keluarga Cendana dengan judul Suharto Inc yang
berujung ke meja hijau. Disebutkan Titiek adalah penyuka merek kelas
tinggi seperti Hary Winston,Bulgari, dan Cartier. Titiek juga dikenal
sebagai pengagum para bintang film. Ketika Steven Seagal ke Bali dalam
rangka peresmian Planet Hollywood pada 1994 lalu, misalnya, Titiek
dikabarkan berdansa dengan bintang laga itu.
Kembali ke sosok Prabowo Subianto. Pria
yang lahir 17 Oktober 1951 ini terbilang sangat mulus tentu dengan
memakai kebesaran sang penguasa rezim orde baru, sang mertuanya
Soeharto.
Seorang pengamat militer, Al-Araf
mengatakan kenaikan pangkat Prabowo Subianto yang begitu cepat didasari
oleh praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) “, dia naik pangkat
tiga kali dalam 1,5 tahu saat masih di TNI. Nepotismenya kuat sekali,”
ujarnya.
PERTANYAANNYA : Apakah
Sosok yang berada dilingkaran dekat Soeharto bahkan memiliki hubungan
emosional dengan rezim layak memimpin bangsa ini. Apakah Kekejaman era
Soeharto ini bisa dimaafkan begitu saja demi memberikan kesempatan
kepada seorang pria yang menikmati kehidupannya disaat rakyat kehilangan
nafas dalam bersuara??
Nasib baik tidak selalu berpihak kepada
Prabowo Subianto, kenikmatan yang diterimanya bersama Rezim dicabut oleh
Tuhan. Sebelum Kejatuhan Soeharto yang saat itu berada di luar negeri,
Indonesia dibangkitakan dengan perlawanan. Namun, pengamanan yang ada
justeru melakukan langkah-langkah pelanggaran Hak Azasi Manusia. Singkat
kata, kerusuhan terjadi dan kematian dimana-mana di Kota Jakarta.
Disaat terjadi huru-hara, aksi
penculikan 1998 terjadi. Tudingan pun langsung dialamatkan ke Prabowo
Subianto yang saat itu menjadi orang yang paling penting dalam
pengamanan Kota Jakarta. Keterlibatan Prabowo Subianto tidak bisa
terbantahkan lagi, Prabowo langsung dipecat dari jabatannya saat itu
Pangkostrad. Tak hanya itu, berdasarkan rekomendasi Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) Prabowo akhirnya dipecat dari dinas ketentaraan
karena terlibat penculikan sejumlah aktivis. Sementara itu Mayjen Muchdi
Pr dan Kolonel Chaerawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan
struktural di ABRI.
Tuduhan ini makin melekat karena Prabowo
pun tak hadir dalam sidang penculikan itu. Komnas HAM sendiri
menjelaskan dari perspektif hukum HAM nasional dan internasional,
Prabowo adalah seorang yang saat ini masih sebagai saksi pelaku yang
pernah dipanggil Komnas HAM, tetapi mangkir dan tidak taat hukum dan
tidak menghargai lembaga negara dan saat ini dalam proses peradilan (on process) dan berkasnya ada di kejaksaan.
Dengan status seperti itu, jelas bahwa
Prabowo bisa ditangkap dan diadili di mana saja hanya berdasarkan
laporan pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM. Alasanya pun sudah jelas
Prabowo Subianto merupakan seorang yang diduga turut bertanggung jawab
sebagai bagian dari pertanggungjawaban komando sesuai Pasal 42 UU Nomor
26 Tahun 2000 (tentang pengadilan hak asasi manusia), Prabowo bisa
ditangkap dan diadili di negara mana pun di dunia hanya berdasarkan pada
laporan penyelidikan pelanggaran HAM berat Komnas HAM terkait kasus
penculikan atau penghilangan paksa.
Oleh karena tindakan penculikan dikenakan perinsip hostis humanis generis (musuh umat manusia), maka yang bersangkutan tidak bisa terlindungi di negara mana pun (no save heaven) sehingga terduga bisa ditangkap dan diadili di negara mana pun di dunia.
Sayang, Hingga kini Prabowo
Subianto masing menghirup udara bebas bahkan tragisnya lagi Prabowo
Subianto malah mencalonkan diri sebagai Calon Presiden RI.
16 Tahun berlalu, Kasus penculikan ini
masih misteri, tak ada kehendak Prabowo menjelaskan kasus penculikan.
Jangankan untuk rekonsiliasi dengan para keluarga korban. Melakukan
jumpa pers untuk menjelaskan duduk perkara itu pun tidak dilakukannya
padahal kesempatan waktu yang begitu lama sudah diberikan Tuhan untuk
menjelaskannya. Sayang, iapun Bungkam!
Terlibat dalam rezim orde baru, begitu
dekat dengan pelaku-pelaku rezim orde baru, menjadi bagian yang tidak
dipisahkan dalam diri seorang Prabowo Subianto. Kini,seorang Prabowo
ikut menjadi capres 2014. Padahal dampak yang begitu massif diakibatkan
oleh rezim orde baru belumlah terobati dan terbalaskan, ia melenggok
menjadi sosok yang begitu didewakan kroni-kroninya.
9 Juli 2014 dimana rakyat Indonesia
menjadi tonggak sejarah bangsa ini untuk memilih presidennya. Sebelum
waktu habis untuk memikirkan pilihan, kita harus matang menentukan
pilihan. Seribu pertanyaan mungkin terlalu banyak buat kita untuk
dijawab tapi beberapa prtanyaan ini mampu mewakili ribuan pertanyaan
itu.
Apakah kita akan membiarkan republik ini
dipimpin kembali oleh orang yang telah ikut berpartisipasi dalam
kekejaman rezim orde baru, apakah kita akan memberikan kedaulatan kita
kepada orang yang menikmati segala kebebasan dan jabatan saat rezim orde
baru masih tangguh dan disaat yang sama rakyat disiksa bahkan diadili
karena berbeda paham dalam politik, disaat yang sama orang kritis
disiksa bahkan hingga kini tidak tahu kuburannya dimana?
Dengarkan cerita-cerita orang tua kita
dahulu, dengarkan mereka yang hidup dalam ketakutan dan ketidakbebasan.
Kita masih ingat berjam-jam kita harus didikte Soeharto saat kita nonton
televise. Rakyat Dibuai dan Soeharto bebas melakukan apapun termasuk
KKN. Sejarah adalah hal yang tidak bisa diubah dan dibeli. Langkah yang
bijak jika kita belajar dari sejarah sebelum menentukan pilihan
Jangan melihat sosok Prabowo Sekarang,jangan terbuai dengan pidatonya yang berapi-api! Dengarkan kata hati, PRABOWO SUBIANTO tidak dipisahkan dari Soeharto yang biadab memperlakukan rakyat INDONESIA!
Tulisan diatas dikutip dari:http://celotehpemilu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar