Sabtu, 12 September 2015

ninja kiai pkb banyuwangi

Gusdur ninja kyai PKB Banyuwangi


Gus Dur, Ninja, Kiai PKB, Banyuwangi

Katagori : Artikel - Opini & Aspirasi
Oleh : Redaksi 04 Dec 2003 - 4:39 pm

imageKH Abdurrahman (Gus Dur) tanggal 29 November 2003 mengungkapkan kepada pers terjadinya pembunuhan terhadap dua orang kiai PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) asal Jember dan Lumajang, Jawa Timur. Pelakunya terlatih dan terorganisasi. Kejadiannya mirip teror ninja di Banyuwangi menjelang Pemilu 1999. Ini adalah usaha untuk menggagalkan Pemilu 2004, kata Gus Dur.

Kita teringat pemberitaan media massa lima tahun yang lalu mengenai rentetan pembunuhan terhadap dukun santet (tenung) di Banyuwangi. Korban dipenggal kepalanya, dicincang-cincang, bagian tubuhnya digantung di pohon atau dilemparkan ke dalam masjid. Pembunuhnya berpakaian hitam, bertopeng hitam, bersenjata arit dan pedang, bagaikan ninja Jepang. Rakyat ketakutan dibuatnya.

Akhir Agustus 1998 tercatat lebih dari 50 kasus pembunuhan. Selama bulan September rata-rata tiga kali sehari terjadi pembunuhan. Bulan Oktober teror ninja meningkat.

Rakyat lalu membentuk kelompok-kelompok keamanan desa, berjaga-jaga, mendirikan rintangan jalan, memberlakukan jam malam, dan membalas dengan aksi memburu orang-orang yang disangka ninja. Pada akhir Oktober kelompok-kelompok itu telah menewaskan paling sedikit 35 orang yang dicurigai sebagai ninja.

Lebih dari dua pertiga korban pembunuhan oleh teror ninja adalah pengikut Nahdlatul Ulama (NU). Akhir November jumlah korban di Banyuwangi tercatat sebanyak 140 orang. Polri Banyuwangi dan para camat mengatakan pembunuhan itu diorganisasi.

Pangdam Jawa Timur Mayjen Djoko Subroto mengakui kebanyakan pembunuhan mempunyai modus operandi yang sama. Kapolda Jatim mengatakan para pelaku adalah pembunuh bayaran yang honornya satu juta rupiah untuk satu kali pembunuhan. Sebuah tim pencari fakta dari Komnas HAM membenarkan keterangan tadi.

Berbagai penjelasan diberikan mengenai sebab musabab pembunuhan. Ada yang mengatakan ini adalah gejala histeria massa. Beberapa kelompok penduduk desa membunuh tetangga mereka yang dicurigai melakukan praktik dukun santet.

Ada yang bilang pembunuhan itu berkaitan dengan gerakan anti-komunis tahun 1965-1966. Ketika itu Banyuwangi merupakan basis PKI, dan pemuda Ansor, onderbouw dari NU, melakukan "aksi pemberesan" terhadap orang-orang PKI. Maka ada sangkaan bahwa dukun-dukun santet yang dibunuh itu bukan anggota Ansor dan kini sahabat dan keluarga orang-orang yang dibunuh 30 tahun yang lalu yakni pengikut komunis membalas dendam.

Tetapi hal ini disangsikan, sebab mengapa pembunuhan balas dendam terjadi bulan Oktober 1998, dan tidak sebelumnya? Lagipula cara korban-korban pembunuhan dibunuh secara sadistis mempunyai ciri-ciri khas suatu kampanye yang bertujuan menyebarkan teror. Ada pula yang mempersalahkan golongan Kristen, Tionghoa, Muhammadiyah, dan ICMI sebagai dalang pembunuhan, tapi ini niscaya tak meyakinkan.

Pada tanggal 14 Oktober 1998 diadakan di Tuban rapat dan di sana lebih dari 2.000 ulama NU bertemu dengan para pejabat penanggung keamanan dan ketertiban provinsi Jawa Timur. Para ulama tanpa tedeng aling-aling menuduh para pejabat tadi telah mengasih beking kepada rangkaian peristiwa itu.

Empat tahun setelah peristiwa, seorang sarjana Australia Kevin O'Rourke menulis buku berjudul "Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto". Dalam buku ini disingkapkan bahwa akhir Oktober 1998 beberapa perwira purnawirawan dengan latar belakang intel secara terbuka mengutarakan kecurigaan mereka. Adapun Bais (Badan Intelijen Strategis) berada di belakang pembunuhan-pembunuhan di Banyuwangi.

Letkol (Purn) Rudolf Baringbing, perwira Bais yang telah pensiun berkata bahwa, "hanya orang edan yang mau percaya pembunuhan itu murni tindakan kriminal". Baringbing mencatat beberapa ciri dari kerjaan intel: pembunuh-pembunuh itu diorganisasi dengan baik, sifatnya rapi (methodical) dan tampaknya dirancang untuk menebar ketegangan komunal. Dia juga mempertanyakan mengapa para pembesar tidak mengeluarkan statemen mengenai pembunuhan, kendati telah menahan 157 orang yang dicurigai.

Dua orang kolonel lain yang purnawirawan yang juga memiliki pengalaman intelijen setuju dengan pendapat Baringbing tadi. Mereka memastikan bahwa pembunuhan di Banyuwangi sangat mirip dengan operasi-operasi Bais di masa lampau.

Beberapa bulan setelah gelombang pembunuhan mereda, suatu tim wartawan investigatif mengutip secara off-the-record sumber-sumber militer dari Kodam Jatim yang menyatakan bahwa "badan intel militer Bais berada di balik pembunuhan-pembunuhan".

Para wartawan itu menemukan bukti bahwa sebuah tim pejabat intel yang dikepalai oleh seorang letkol berada di Situbondo, dekat Banyuwangi, dari awal bulan Agustus hingga pertengahan September, yaitu periode ketika pembunuhan-pembunuhan terhadap dukun tenung (santet) dimulai dengan sungguh-sungguh.

Tim intel tersebut mengatakan sedang mengumpulkan bukti-bukti mengenai perjudian terorganisasi, kendati judi tidak dikenal di daerah pertanian Banyuwangi. Suatu penyelidikan oleh tim DPR mengkonfirmasikan bahwa rangkaian pembunuhan telah merenggut nyawa 182 orang.

Pembunuhan itu pasti telah diorganisasi, tetapi seperti penembakan di Semanggi (Jakarta), huru hara Mei 1998, dan pembunuhan terhadap mahasiswa Trisakti, tidak ada kesimpulan ditarik mengenai siapa yang bertanggung jawab. Pembunuhan-pembunuhan itu tidak pernah bisa dijelaskan (2002: hlm. 170-171). Semua paparan tadi adalah cerita untuk menyegarkan kembali ingatan kita.

Lima tahun telah berlalu. Kini Gus Dur mengungkapkan pembunuhan dua kiai PKB di Jawa Timur. Tetapi Kapolda Jatim Irjen Hery Susanto di Surabaya tanggal 30 November menepis tudingan Gus Dur. Tewasnya dua kiai adalah murni akibat tindakan kriminal murni. Terlalu jauh untuk mengkaitkan peristiwa tersebut dengan usaha hendak menggagalkan Pemilu 2004, kata Kapolda.

Ketua Umum PKB Alwi Shihab bereaksi. "Untuk mudahnya memang polisi bisa mengatakan, ini kriminal murni. Tapi kami tidak bisa menerima begitu saja."Polisi juga belum mampu mengungkap kasus yang terjadi lima tahun yang lalu, apakah itu kriminal murni atau bukan.

Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto beberapa waktu yang lalu mengatakan kepada pers tentang adanya usaha untuk menggagalkan Pemilu 2004. Kini Gus Dur bicara tentang usaha orang menggagalkan Pemilu 2004. Jika di masa mendatang menyusul tokoh-tokoh lain bicara tentang hal yang sama, jangan-jangan memang Pemilu 2004 bisa gagal.

Segala-galanya tetap berada dalam kabut misterius, walaupun dalam perspektif operasi intel, tampaknya kayak maling teriak maling. Ini bisa bikin pusing, tapi sebelum kita semua pusing, termasuk Presiden Megawati, saya stop di sini saja dan saya ucapkan maaf lahir batin, selamat Idul Fitri. (RioL)

Oleh : Rosihan Anwar
Wartawan Senior

Kiai NU dan Pengurus PKB Lumajang Diteror

Ketenangan dan keselamatan kiai NU dan pengurus DPC PKB Lumajang yang konsisten dengan DPP PKB pimpinan KH Abdurrahman Wahid-Alwi Shihab terusik. Sejak pembunuhan Ketua Dewan Syuro PKB Jatiroto, KH Asmuni Ishaq, kini ganti mereka yang diteror melalui telepon.

Intinya, penelepon meminta mereka tidak neka-neka agar tak menerima nasib tragis seperti Kiai Asmuni.
"Berdasar laporan yang kami terima pada hari ini (kemarin-Red), setidaknya ada tiga pengurus PAC dan DPC PKB yang menerima teror melalui telepon. Selain itu, ada satu kiai NU rumahnya terus dikitari dua orang tak dikenal naik sepeda motor," kata Wakil Sekretaris PKB Lumajang Nanang Hanafie, Selasa (2/12/2003) petang.

Sayang, Nanang keberatan mengungkapkan nama-nama pengurus PAC dan DPC PKB yang menerima teror telepon tersebut. Namun, dia menjelaskan, rumah KH Khidir Fasah pada Senin (1/12) pukul 23.30 terus dikitari dua orang tak dikenal yang naik sepeda motor. Karena tindakan orang tak dikenal itu mencurigakan, saudara Kiai Khidir, Haji Lutfi melaporkan situasi mencurigakan di rumah Kiai Khidir kepada polisi melalui telepon 119.

"Akhirnya memang ada polisi yang meluncur ke TKP di wilayah Kecamatan Lumajang Kota. Namun, orang tak dikenal yang mengitari rumah Kiai Khidir sudah pergi," tambahnya.

Menyinggung isi ancaman kepada pengurus DPC PKB, Nanang mengemukakan, si penelepon gelap mengancam akan menghabisi pengurus DPC dan PAC PKB yang berani bertindak macam-macam. Peneror mengingatkan agar pengurus DPC dan PAC PKB tak terlibat aktif di kepengurusan DPC PKB yang berkantor di Jl KH Iljas. "Kami menilai, teror pada Senin malam tersebut kemungkinan besar masih terkait dengan pembunuhan terhadap KH Asmuni Ishaq," ujarnya.

Memang, pascapemilihan Bupati Lumajang, partai berlambang bola dunia yang dikelilingi bintang sembilan itu dililit persoalan internal. Sebab, kebijakan DPP PKB yang merekomendasikan nama Munif Baisuni tak diindahkan secara konsisten oleh 14 anggota FKB di DPRD Lumajang. Anggota FKB lebih suka memilih Achmad Fawzi, bupati lama Lumajang. Akhirnya, dalam pemilihan bupati Achmad Fawzi terpilih kembali sebagai orang pertama di kabupaten berpenduduk satu juta orang tersebut.

Akibat lebih lanjut dari konflik di internal PKB Lumajang adalah terjadi pembelahan politik di tubuh PKB. Kini ada dua kepengurusan PKB. Pertama, PKB yang berkantor di Jl Suhandak pimpinan Hasan Said yang menolak kebijakan DPP PKB membekukan DPC PKB Lumajang. Adapun PKB yang konsisten dengan kebijakan DPP PKB dipimpin Pjs AS Hikam. DPC PKB tersebut berkantor pusat di Jl KH Iljas. "Nanti kan yang diakui KPU adalah caleg yang diusulkan DPC yang disahkan DPW dan DPP," ujar Nanang Hanafie.

Berdasar hasil Pemilu 1999, PKB Lumajang meraih 14 kursi di DPRD. Partai itu mengumpulkan dukungan 186.648 suara. Adapun partai pemenang di Lumajang pada Pemilu 1999 adalah PDI-P dengan dukungan 214.604 suara. Partai Golkar 82.979 suara, PPP 24.016 suara, dan PAN 13.951 suara.

"Saya nggak mengerti apakah PKB Lumajang sekarang solid atau tidak. Namun, yang jelas NU Lumajang tetap mantap dan semua kegiatannya berjalan lancar. Selama ini hubungan PKB-NU Lumajang aman-aman saja dan tak ada persoalan," kata Ketua PCNU Lumajang H Rofiq.

Satu Saksi

Sementara itu, perkembangan investigasi yang dilakukan tim PKB Lumajang menyebutkan, hingga Selasa (2/12) pukul 17.00, tim investigasi PKB baru meminta keterangan pada satu orang. Yakni, Sugiono (45), warga Desa Nyoran, Kecamatan Jatiroto.

Mengutip keterangan yang disampaikan Sugiono, Nanang Hanafie mengungkapkan, saat terjadi pembunuhan KH Asmuni Ishaq, Sugiono berada di warung dekat rel di timur rumah korban. Sugiono melihat ada enam orang. Beberapa di antara mereka bercelana pendek, bersarung, dan tanpa alas kaki. Mereka berjalan di sisi rel KA ke timur. "Keenam orang tersebut berjalan ke arah perbatasan Lumajang-Jember," kata Nanang mengutip keterangan Sugiono.

Setelah melihat enam orang berjalan ke timur di dekat rel, tak lama kemudian terdengar suara teriakan meminta tolong dari arah rumah KH Asmuni Ishaq. Saksi Sugiono, tambah Nanang, berlari ke arah suara teriakan meminta bantuan tersebut. Ternyata sesampai di rumah KH Asmuni, di situ sudah banyak warga bergerombol melihat apa yang terjadi. Di antara warga yang berada di rumah KH Asmuni setelah pembunuhan ada seorang aparat keamanan.

Menurut Nanang mengutip keterangan Sugiono, sang aparat keamanan itu tidak mengejar ke arah larinya enam orang yang dicurigai sebagai pembunuh, malah melaporkan kejadian mengenaskan tersebut kepada petugas Polsek Jatiroto.

Jarak rumah KH Asmuni dengan kantor Mapolsek Jatiroto memang tak begitu jauh. Mungkin 300-500 meter. Permukiman tempat rumah KH Asmuni berada termasuk padat penduduk. Kanan-kiri rumah almarhum diimpit rumah warga lain. Depan rumah almarhum adalah gudang. Sekitar 25 meter di timur rumah almarhum ada tempat pemotongan hewan (sapi) dan jalan tembus ke selatan, ke arah perlintasan KA jurusan Surabaya-Jember-Banyuwangi.

"Tim investigasi PKB juga akan meminta keterangan kepada penjaga rumah pemotongan hewan. Sebab, berdasar keterangan Sugiono, penjaga rumah pemotongan hewan juga mengetahui ciri-ciri enam orang yang telah menghabisi KH Asmuni. Rumah saksi ini berada di Jember. Karena itu, pada malam ini (Selasa) kami meluncur ke sana untuk meminta keterangan dia," jelas Nanang.

Mengenai motif pembunuhan KH Asmuni akibat konflik internal di PKB, dia menyatakan pesimistis terhadap kebenaran dugaan motif tersebut. "Karena itu, polisi harus cepat mengungkap kasus ini. Ya biar dugaan yang disampaikan Gus Dur bahwa pembunuhan KH Asmuni untuk mengacaukan Pemilu 2004 bisa diklarifikasi," tuturnya.

Nanang mengakui, pada Selasa kemarin ada caleg PKB asal Kecamatan Jatiroto yang telah dimintai keterangan petugas Polres Lumajang di Mapolres. Namanya Husain. Dia dimintai keterangan sejak pukul 11.00. Hingga pukul 15.00 dia masih diinterogasi polisi. "Pada pukul 12.00 saya disuruh mengirim nasi ke Pak Husain di kantor Polres," ungkapnya.

Selain Husain, ada tiga kader PKB yang dicalegkan melalui Kecamatan Jatiroto. Mereka adalah Sholeh, Baihaqi, dan Anang Subandi. "Saya kok meragukan motif pembunuhan terhadap KH Asmuni memperebutkan nomor caleg jadi dari Jatiroto," tegasnya.

Sanggahan Nanang Hanafie secara tak langsung juga dibenarkan Muhammad Imron (30), adik kandung Hajah Mutmainnah, istri KH Asmuni. Imron menjelaskan, KH Asmuni termasuk tipe ulama sederhana, tak gila kedudukan tinggi, tak suka menumpuk harta. "Beliau ulama yang tawadu dan tak ambisius," kata Imron.

Nanang mengungkapkan, selain Sugiono dan penjaga rumah jagal hewan, tim investigasi PKB juga berencana meminta keterangan kepada Husain. Nama lain yang didaftar untuk dimintai tim investigasi PKB adalah kakak kandung almarhum. "Pokoknya kami harus bekerja cepat," tandasnya.(sm/gik)

Motif Pembantaian Ulama dan Umat Islam

"Jika ada ninja tertangkap, jangan serahkan ke aparat, habisi saja di tempat"

Awal spekulasi tentang motif pembantaian ulama dite-ngarai mirip gerakan kiri. Pola-pola pembunuhan ‘dukun santet’ seperti kejadian tahun 1965 adalah pola-pola komunis, ujar Letkol (Inf.) Subihardjo Dandim 0825 Banyuwangi saat dialog masalah santet di Polres Banyuwangi (23/9). Senada dengan itu adalah Kapolri yang mengatakan bahwa pola tindakan para pelaku pembantaian disusupi gerakan PKI. "Bahkan, salah satu pelaku sudah mengaku pernah terlibat gerakan G30S/PKI," tegasnya saat memberi penjelasan di DPR RI (8/10). Mengatakan motif pembantaian disusupi PKI sah-sah saja, pasalnya di Banyuwangi banyak anak-anak mantan PKI yang ayahnya dibunuh paska peristiwa G-30S. Dalam hal ini, motifnya adalah dendam. Dendam sejarah.

Namun, ketika diadakan penyelidikan lebih jauh ternyata ada beberapa anggota ABRI yang terlibat dalam pembantaian ini. Ketua Tandfidziyah NU Jawa Timur Drs H A Hasyim Muzadi menyatakan bahwa ada dua oknum anggota ABRI yang diduga tersangka dalam pembantaian di Banyuwangi. Hal itu dibenarkan oleh Panglima Kodam Jatim Mayjen TNI Djoko Subroto yang kini sedang memeriksa dua personel ABRI tersebut. Tetapi ini pun masih simpang siur. Di Banyuwangi malah tercatat keterlibatan empat oknum anggota ABRI. Tetapi pihak ABRI telah membantah keterlibatan empat oknum tersebut, melalui siaran pers (10/10) kapolda Jatim, tetapi sebelumnya Kaditserse Polda Jatim telah memberi keterangan kepada pers (9/10) tentang penangkapan empat oknum ABRI: Serka Slm, Serka Kk, Serka Sgt, dan Serka Mhm.

Menengarai ABRI sebagai pelaku terorganisir juga beralasan, selain tertangkap keterlibatannya, para pelakunya membawa handy talky (HT) yang menunjukkan bahwa kegiatan ini terkoordinasi dan terorganisir. Guru Besar FISIP Unair, Prof Soetandyo Wignyosoebroeto, menemukan indikasi bahwa langkah-langkah yang dilakukan pelaku pembantaian itu terlatih dalam penggerebekan dan sering dilatih dalam dunia militer. Apalagi kesan aparat keamanan dalam mengamankan situasi di Banyuwangi lambat. Bayangkan, pelaku pembantaian ‘dukun santet’ ratusan orang dan telah meneror berbulan-bulan masyarakat Banyuwangi, aparat keamanan baru berhasil meringkus 29 warga pelaku pembantaian. Kecemasan telah gandrung melarungi perasaan masyarakat Banyuwangi.

Hal semacam itu jelas bukan merupakan tindakan kriminal biasa melainkan mempunyai motif-motif politik tertentu. Apalagi kemudian pembantaian dengan dalih ‘dukun santet’ meluas tidak hanya di Banyuwangi namun hingga ke Demak, Jawa Tengah. Tetapi mengapa? Dan untuk apa? (Mediakrasicom)

Motif Politik

Identifikasi korban menunjukan bahwa yang dibantai bukanlah dukun santet. Sebagaian besar adalah kaum Nahdliyin (NU) dan ada beberapa ulama NU. Misalnya, KH Syamsul yang tewas dibantai adalah Rais Syuriah NU Ranting Pakel, Glagah. Padahal, KH Syamsul memang diketahui tidak mempunyai musuh. Bahkan target sasaran juga menyangkut beberapa tokoh Masyumi dan Muhammadiyah. Misalnya, KH Kahar Muzakir dan KH Muzammil. Begitupula dengan investigasi Ishlah langsung ke lapangan, ternyata dua pengurus DPD Partai Keadilan (PK) Jember juga masuk menjadi target operasi pembantaian ‘dukun santet’, yakni Ir Habib Ihsan dan Mahfudzi Husodo STP, di mana rumah keduanya sudah disatroni dua kali.

Karena lokasi pembantaian memang dikenal dengan basis NU dan mayoritas yang terbantai adalah warga NU, adalah lazim jika motif politik dibalik pembantaian ‘dukun santet’ di alamatkan pertama kali ke NU ini. Tokoh wanita NU yang juga ketua DPP PKB Dra Khofifah Indar Parawangsa menilai kasus pembantaian ini dapat berindikasi memecah belah persatuan warga NU di daerah. Namun Gusdur sendiri – Ketua PBNU – ini dengan hati-hati menolak analisis semacam itu. "Semua itu tergantung yang mau dipecah mau atau tidak," jelasnya. Gusdur lebih cenderung memberikan persoalan ini kepada ABRI. Baru jika ABRI di tingkat lokal dan pusat tidak mampu, NU akan turun tangan.

Tapi, jika menunggu tampaknya jumlah korban akan terus bertambah. Cabang-cabang NU di Jatim telah meminta PWNU mengeluarkan fatwa Perang Sabil terhadap pelaku pembantaian ‘dukun santet’. Agak berbahaya memang jika itu dilakukan. Pasalnya, dapat terjadi ketidakteraturan masyarakat sipil di Jawa Timur. Inikah yang diinginkan dalang pembantaian ‘dukun santet’?

Dr. Daniel Saparinga, pengamat sosial dan politik dari Unair, mengatakan ada semacam politik adu domba untuk mengalihkan perhatian dari isu nasional menjadi isu lokal. "Kalau ini dilakukan oleh ABRI apa masuk akal. Soalnya mereka kan sudah babak belur. Kalau bukan. Siapa mereka?" tanyanya. Tapi Jumat (9/10) di Jember 1 ninja mati tertembak, 2 luka parah. Sampai hari ahad (11/10) dua orang ninja yang terluka masih di ruang ICU. Ketiganya berperawakan tegap, yang masih hidup berlogat Madura, dan yang luar biasa masih hidup itu tidak pernah megeluarkan rintihan kesakitan. Keduanya diam membisu, tiap kali dikorek infonya. Teror juga berdatangan dirumah sakit untuk mengambil paksa dua ninja tersebut. Anehnya sepinya aparat ikut mengamankan RS dari ancaman-ancaman tersebut.

Untuk apa? Yang terakhir ini memang masih bersifat spekulatif jawabannya. Namun, jika tujuannya merusak ketentraman dan menimbulkan kecurigaan satu sama lain, maka hal itu sudah berhasil. Tim investigasi Ishlah menanyakan kepada masyarakat seandainya mereka berhasil menangkap ninja, mereka sepakat dengan kompak: "Jika ada ninja tertangkap, jangan serahkan ke aparat, habisi saja di tempat".

sumber:http://swaramuslim.ne

Tidak ada komentar:

Posting Komentar