Gerwani: Pelaku atau Korban Perkosaan Bermotif Propaganda Politik?
Tulisan
ini diadaptasi dan telah mengalami perubahan secukupnya dari Makalah
saya pada matakuliah Perempuan dan Keadilan TA 2013 di Departemen
Kriminologi, Universitas Indonesia.
sumber gambar disini |
Gerwani merupakan satu-satunya organisasi yang pada era Presiden Soekarno cukup keras menyuarakan hak-hak perempuan dan anak. Salah satu tujuan utama yang ingin diraih oleh organisasi ini adalah hak pendidikan dan politik yang sama bagi kaum perempuan, bukan hanya dijadikan babu di dapur dan tempat tidur. Namun di era yang masih mengusung tinggi patriarkhi tersebut, suara-suara mereka dianggap meresahkan bahkan mengancam 'kegagahan' laki-laki, hingga akhirnya organisasi ini ditumpas habis oleh pemerintah di Era Orde Baru.
Bukan hanya dihilangkan, namun Gerwani juga difitnah menjadi bagian dari PKI dan melancarkan serangan seksual pada Para Jenderal dalam peristiwa G30S/PKI. Mereka ditangkap, dibunuh, dihilangkan, dan yang paling mengerikan--diperkosa serta dirusak alat kelaminnya. Kini, tabir kebenaran atas peristiwa yang sesungguhnya terjadi mulai tersingkap. Berbagai penelitian, baik yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri maupun peneliti internasional, menunjukkan kekejaman yang dilakukan oleh Orde Baru atas perempuan-perempuan yang sempat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan bangsa ini.
APA ITU
GERWANI?
Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) pada awalnya dibentuk pada tahun 1950 dengan nama
Gerwis (Gerakan Wanita Istri Sedar). Pembentukan Gerwis berawal dari penyatuan enam organisasi
pada Kongres yang diadakan pada 4 Juni 1950, yakni Rukun Putri Indonesia
(Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar
dari Bandung, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan Putri Republik
Indonesia dari Pasuruan (Sari, 2007: 23).
Gerakan yang
awalnya memiliki 500 anggota yang rata-rata berpendidikan tinggi ini memiliki
kesadaran politik tinggi, dengan
sebagian besar anggotanya ikut bergerilya melawan Belanda. Mereka masih muda
dan menginginkan organisasi yang dapat menampung energi dan talentanya. Mereka
memiliki kesamaan pengalaman terhadap dominasi laki-laki, yang mereka sebut
sebagai struktur masyarakat feodal. Mereka ingin turut serta membangun
Indonesia modern dengan partisipasi penuh dari perempuan. Gerwis dengan tegas menolak proses
domestifikasi dan menuntut hak bahwa perempuan harus menjadi aktor politik
(Wieringa 2000: 446).
4 tahun
kemudian, disaat anggota Gerwis mencapai 80.000, terdapat upaya untuk menarik
kaum perempuan dari kalangan masa dan mengubah nama organisasi menjadi Gerwani
atau Gerakan Wanita Indonesia. Gerwani juga berkonsolidasi dengan organisasi
massa lainnya di
bawah Partai
Komunis Indonesia (PKI), misalnya SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) sebagai
organisasi buruh, BTI sebagai organisasi petani, dan PR (Pemuda Rakjat) sebagai
organisasi pemuda. Dari fakta inilah kemudian terlihat bahwa adanya kedekatan
antara Gerwani dengan organisasi PKI. Bahkan secara organisasional, Gerwani
memang merupakan organisasi yang menjadi bagian dalam partai tersebut, karena
umumnya pendiri Gerwis terdahulu juga merupakan anggota PKI (Kaprisma,
2010).
Gerakan Gerwani dijaman
itu, sudah mencerminkan semangat revolusi yang bertujuan mencapai kesamaan hak
untuk perempuan. Melalui pendidikan ketrampilan, pemberantasan buta hurup dan
pembentukan Taman Kanak-Kanak di desa-desa. Pada tahun 1965, Gerwani menyatakan
jumlah keanggotaannya lebih dari 1,7 juta perempuan dan aktif terlibat dalam
implementasi kebijakan reformasi agrarian, bekerjasama dengan organisasi petani
lainnya.Gerwani juga aktif dalam upaya menggalang sukarelawati sekitar kampanye
pemerintah untuk pembebasan Irian Barat ( sekarang Papua ) dan kampanye melawan
Malaysia pada waktu itu (Aggreni, 2012).
Gerwani giat dalam membantu
peningkatan kesadaran perempuan tani bekerjasama dengan BTI (Barisan Tani
Indonesia). Gerwani juga membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang
dilancarkan oleh BTI dan menuntut agar hak atas tanah dapat diberikan kepada
kaum perempuan (Kaprisma, 2010). Perempuan tani dan buruh
disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan tempat mereka
bekerja. Taman kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar,
perkebunan-perkebunan, dan kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk
menjadi guru pada sekolah tersebut. Badan-badan penyuluh perkawinan untuk
membantu kaum perempuan menghadapi masalah perkawinan turut dibuka.
Kursus-kursus kader diselenggarakan pada berbagai tingkat organisasi dan hal
penting yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia (Wieringa
1998: 20).
Selain itu, Gerwani juga aktif dalam pemberantasan buta huruf dan pendidikan
politik bagi kaum perempuan, yang merupakan agenda besar bagi organisasi ini.
Namun, perjuangan mulia
tersebut terhenti oleh politik stigmatisasi yang memposisikan Gerwani sebagai
“musuh” negara. Pembunuhan, penahanan, dan “penandaan” kepada sebagian besar
anggota Gerwani adalah praktik stigmatisasi yang dilancarkan secara sistematis
oleh rezim Orde Baru. Stigmatisasi tersebut berimplikasi kepada
peng-eksklusi-an terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan
pemerintahan dan masyarakat. “PKI-isasi” secara sistematis digunakan Orde Baru
untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang membangkang secara moral dan
politik. Masif dan luasnya teror berdarah tersebut menjadi catatan sejarah
kelam perjuangan Gerwani (Kaprisma, 2010).
sumber gambar disini |
KEJAHATAN
NEGARA ATAS ANGGOTA GERWANI
Pada
masa peristiwa 1965, anggota Gerwani dan perempuan lainnya yang dianggap berafiliasi
dengan PKI, menjadi sasaran kejahatan sistematis, antara lain : pembunuhan,
penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan kekerasan
seksual. Meskipun ada laporan otopsi resmi yang menyimpulkan bahwa penyebab
kematian para perwira ( peristiwa Lubang Buaya ) adalah tembakan peluru,
pemukulan benda tumpul dan bahwa jenazah dalam keadaan utuh, namun beberapa
media masa saat itu menyebarkan laporan palsu mengenai kondisi jenazah,
dinyatakan mata dalam keadaan tercongkel, dan kemaluan dipotong.Laporan-laporan
yang tidak terverivikasi menceritakan tentang penyiksaan seksual dan
pengebirian yang dilakukan oleh anggota Gerwani. (Aggreni, 2012).
Gencarnya
propaganda Soeharto membuat masyarakat anti-Partai Komunis Indonesia (PKI)
murka luar biasa. Pemerintahan
Soeharto menyebut mereka adalah penyiksa para jenderal dan pelaku seks bebas. Mereka
kemudian melakukan aksi balasan bagi para anggota PKI dan organisasi
underbouwnya, termasuk Gerwani.
Ratusan ribu anggota PKI dibantai dengan kejam. Begitu pula dengan anggota
Gerwani, yang diperkosa dan terus mengalami kekerasan seksual. Tentara dan
masyarakat merasa apa yang mereka lakukan sah untuk membalas dendam karena
menganggap PKI dan Gerwani juga memperkosa jenderal-jenderal. Untuk mengabadikan ‘kejahatan’
Gerwani ini,
Soeharto bahkan membuat relief di Monumen
Lubang Buaya. Gambar wanita-wanita yang menari dengan berkalung bunga. Karena
itu tarian ini dinamakan tarian Harum Bunga. Kemudian terbit juga berita di Harian Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha kalau anggota Gerwani dan PKI yang cantik-cantik
sengaja melacur untuk membiayai partai. Makin hancurlah citra Gerwani di mata
masyarakat (Fadillah, 2012).
APA SAJA
BENTUK KEKERASAN TERHADAP GERWANI?
Gencarnya
propaganda yang diberlakukan oleh pemerintah kala itu, bukan berarti
fakta-fakta yang ada atas penderitaan anggota Gerwani hilang begitu saja. Berbagai
penelitian yang diadakan oleh bangsa kita sendiri maupun peneliti
internasional, telah menemukan bahwa:
· Komnas Perempuan menemukan bukti-bukti bahwa penyiksaan
seksual terjadi diberbagai tempat penahanan dibanyak tempat. Korban perempuan
dihina dengan kata-kata yang melecehkan, dituduh terlibat dalam tarian
seksual sambil menyiksa para jendral (Aggreni, 2012).
· Dari 122 kesaksian yang diterima dan dipelajari,
Komnas Perempuan dapat menyimpulkan adanya indikasi kuat bahwa
pelanggaran-pelanggaran yang dialami perempuan berkaitan dengan peristiwa 1965
telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis gender.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan Internasional yang sangat
serius ,dimana perbuatan tertentu (pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dll)
terjadi dalam kontek penyerangan secara luas atau sistematis terhadap
masyarakat sipil. Pada intinya, kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi pada
saat Negara mengerahkan kekuatan untuk menyerang warga negaranya sendiri (Aggreni, 2012).
· Dari 122 kesaksian yang dipelajari Komnas Perempuan telah
tergambar peristiwa pembunuhan, kekerasan dan penahanan massal yang terjadi di
berbagai wilayah di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan Timur, dan Pulau Buru yang
menjatuhkan setidaknya ratusan ribu korban. Data-data yang dipelajari memberi
indikasi kuat bahwa telah terjadi serangan yang meluas dan sistimatik, artinya
terjadi secara berulang dengan pola yang terulang diberbagai lokasi, terhadap
perempuan yang dituduh mempunyai hubungan dengan Gerwani, PKI dan
organisasi lainnya. Misalnya. korban dari wilayah yang berbeda melaporkan
metode kekerasan dalam bentuk penelanjangan dengan alasan mencari cap
palu arit. Perkosaan dalam tahanan dan serangan terhadap alat-alat reproduksi
perempuan dalam proses interogasi (Aggreni,
2012).
·
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) daam Sihaloho dan
Damayanti, mengamini korban perempuan 30 September 1965 mengalami kekerasan
seksual. Mereka diminta oral seks, diperkosa secara ramai-ramai, dan alat
kemaluannya disetrum. Bahkan, vagina korban dimasukkan tongkat (Sihaloho & Damayanti).
·
Yoseph Tugio Taher dalam Sihaloho dan Damayanti menyebutkan
sebagian besar korban dibunuh setelah diperkosa. Yoseph mencontohkan
pemerkosaan terhadap Menah. Anggota Gerwani itu meninggal sesudah diperkosa di
Penimbangan Getah, Asahan, Sumatera Utara. Bahkan, jasadnya ditemukan dalam
keadaan bugil (Sihaloho & Damayanti).
·
Ribuan anggota Gerwani lalu diperkosa dan dibunuh. Para eksekutor
belum puas jika tidak merusak kemaluan anggota Gerwani. Kadang mereka
dimutilasi dan potongan tubuhnya sengaja dipamerkan (Fadillah, 2012).
·
Cerita-cerita ini kemudian menjadi peristiwa kekerasan
kepada perempuan gerwani yang ditangkap, ditahan, disiksa secara seksual,
ditelanjangi dengan alasan mencari tato yang akan menunjukkan keanggotaan dalam
organisasi (Aggreni, 2012).
·
Sri (71 tahun), mantan wartawan Ekonomi Nasional mengalami
penyiksaan di Gang Buntu, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Suaminya merupakan
Ketua Pemuda Rakjat, organisasi underbow PKI. Sri dituduh mendirikan Gerwani
Jakarta. Disana, giginya diestrum hingga copot. Ia juga mengalami kekerasan
psikologis dengan menyaksikan pembunuhan dan dipaksa melihat mayat-mayat PKI
oleh Militer (Sihaloho & Damayanti).
·
Lestari (82 tahun), mantan Pengurus Gerwani dibuang (diasingkan)
ke Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Lestari menuturkan, tahanan dan narapidana
politik perempuan mengalami kekerasan seksual, bahkan diperkosa bergiliran.
·
Lestari juga menuturkan bahwa rekannya, Puji Aswati, Ketua Gerwani
Kota Praja Cabang Surabaya, sengaja diberikan pada hansip untuk diperkosa. Puji
diperkosa tujuh orang sekaligus (Fadillah, 2012).
·
Yanti, salah satu tahanan politik mengaku disiksa dan diperkosa
agar mau mengaku telah menari Harum Bunga dan bermain seks bersama para
jenderal dan anggota PKI di Lubang Buaya. Padahal, dia sama sekali tidak
melakukan hal itu (Fadillah, 2012).
sumber gambar disini |
MENGAPA INI
TERJADI?
·
Saskia Wieringa, Peneliti asal Belanda yang menulis mengenai
Gerwani dari perspektif Feminis,mempergunakan konsep gender sebagai konsep
analitis. Hasil Penelitiannya dibukukan sebagai karya Disertasi Doktor yang diajukan
pada Institute of social Studies (ISS) Den Haag. Dalam perspektif penelitian
Wieringa, Gerwani ditempatkan sebagai “korban” peristiwa politik Oktober 1965.
Dia mencoba mengurai anggapan para pejabat penguasa, bahwa Gerwani adalah
gerakan perempuan progresif yang tidak bermoral/ pelacur bejat moral. Temuan
Saskia ternyata Gerwani merupakan organisasi massa perempuan yang suaranya
sangat keras dalam membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai dengan
keadaan jamannya. Gerwani yang sebelumnya bernama Gerwis, pada tahun 1954
menempatkan organisasinya dalam barisan pelopor, yang menggalang massa
perempuan seluas-luasnya sebagai wadah pendidikan massa dan juga berjuang
melalui parlemen.Perjuangan di Parlemen adalah memasukkan agenda perempuan dalam
rancangan Undang-Undang seperti UU Perkawinan dan UU Ke Imigrasian. Bagi
Gerwani, musuh idiologisnya adalah berbagai pandangan yang menjadi penyebab
berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan yang bersumber pada feodalisme,
imprealisme dan kolonialisme. Pada strategi perjuangan massa di medan feminism
dan daerah,Gerwani melakukan kegiatan mulai dari pemberantasan buta hurup,
memberi kursus-kursus ABC, penanggulangan bencana alam, mengurus anggota yang
menjadi korban kekerasan dan poligami, sampai mengurus taman
kanak-kanak. Gerwani juga menggalang front persatuan diantara
organisasi-organisasi perempuan,misalnya dalam kongres Wanita Indonesia/
KOWANI. Gerwani mengajak organisasi perempuan untuk bekerjasama memperjuangkan
RUU Perkawinan. Pada masa pemerintahan Soekarno, Gerwani adalah satu-satunya
organisasi perempuan yang merambah kepentas politik Nasional, sementara
organisasi perempuan lainnya lebih menekuni kerja social saja. Kerja-kerja
politik dianggap hanya sebagai milik politisi laki-laki, dan kaum perempuan
digiring ke medan kerja sosial yang didifinisikan sebagai tempatnya kaum
perempuan. Profil perempuan Gerwani yang bersuara keras dan militant sangat
mengancam” kegagahan” laki-laki yang dalam masyarakat Indonesia ditempatkan
sebagai penjaga gawang nilai-nilai normative (Aggreni,
2012).
·
Weber melihat bahwa negara memiliki legitimasi untuk memperluas
bahwa suatu aksi yang dilakukan oleh negara adalah berdasarkan peraturan dan
hal tersebut demi kepentingan negara dan masyarakatnya, kemudian
peraturan-peraturan tersebut dilihat menjadi suatu pembenaran (Jaggar &
Rothenberg, 1993). Inilah yang terjadi pada kasus Gerwani, bahwa negara
dapat melakukan kekerasan kepada Gerwani karena negara memiliki legitimasi
bahwa kekerasan tersebut dilakukan demi kepentingan negara.
·
Sedangkan Gramsci (1971) melihat bahwa negara memiliki legitimasi
melalui proses hegemoni. Hegemoni ini adalah suatu proses dimana terdapat
kepercayaan-kepercayaan yang mendukung status quo tertanam dalam suatu populasi
besar dimana mereka terlihat sebagai bagian dari pembentukan konsensus dan common sense (Jaggar & Rothenberg, 1993).
Common sense yang ditanamkan negara
kepada masyarakat inilah yang kemudian melanggengkan kekerasan pada Gerwani.
·
Kekerasan terhadap Gerwani juga diakibatkan oleh posisi
subordinasi perempuan dibandingkan laki-laki. Stereotype yang masih melekat
pada penguasa Orde Baru bahwa perempuan seharusnya tidak ‘mengancam posisi
laki-laki’ membuat anggota Gerwani menjadi musuh Negara. Padahal, menurut
penelitian Robinson, Gerwani memiliki peranan yang sangat penting dalam
pergerakan perempuan di Indonesia, terutama karena mereka turun langsung ke
desa-desa tertinggal dan membagi kemampuan yang mereka miliki pada sesama
anggotanya di dalam organisasi. (Robinson, 1996)
·
Dalam kasus ini, bila dikaitkan dengan apa yang dikemukakan oleh
Weber, tindak kekerasan yang dilakukan pada Gerwani adalah suatu kejahatan
negara. Hal ini bisa dilihat dari pemaparan contoh-contoh kasus, diketahui
bahwa para anggota Gerwani menjadi tahanan politik dan dengan pemaksaan
dijebloskan ke penjara yang kemudian di dalam penjara tersebut, mereka
mendapatkan pula kekerasan. Negara sebagai pihak yang memiliki kekuasaan paling
tinggi di era orde baru, mempunyai kewenangan untuk melakukan hal tersebut
dengan menggunakan justifikasi perlindungan dari undang-undang. Di samping itu,
pada era orde baru, pemerintahan Soeharto menganut sistem militan sehingga
penangkapan dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. Mereka yang melakukan
peyiksaan baik fisik maupun psikis pada anggota Gerwani yang telah ditangkap
adalah para aparat negara sehingga secara langsung kejahatan kemanusiaan ini
dapat dikategorikan sebagai kejahatan oleh negara. Kemudian, bila merujuk pada
apa yang dikemukakan oleh Gramsci bahwa hal ini bisa dilegitimasi oleh negara
sebagai suatu wujud mempertahankan negara dari serangan-serangan. Dari kasus
diatas, jelas terlihat bahwa Gerwani mengalami diskriminasi langsung dan tidak
langsung. Adapun diskriminasi tidak langsung yang dialami oleh Gerwani adalah
terdapatnya undang-undang atau kebijakan yang memutar balikkan sejarah,
memojokkan posisi mereka, dan memperlakukan mereka sebagai kriminal.
Undang-undang dan kebijakan ini dipandang ‘baik’ oleh masyarakat pada saat itu
karena propaganda yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa mengenai
‘peranan’ PKI dalam kasus G 30S PKI.
·
Sekalipun pergerakan perempuan di Indonesia terus mengalami
peningkatan, namun pergerakan perempuan kesulitan mencapai tujuannya secara
maksimal karena peranan Negara yang menghalangi terciptanya situasi yang
memihak pada perempuan (Brenner, 2006).
·
Penangkapan, penyiksaan, berbagai bentuk kekerasan, hingga
penerapan stigma pada anggota Gerwani tidak lebih dari upaya menjijikan untuk
meraih posisi politik yang kuat dari Presiden Soeharto dan sekutunya saat itu.
Pembunuhan 1965 merupakan tindakan massif dari pembunuhan politik yang
dilakukan oleh Soeharto dan sekutunya yaitu ABRI untuk menumbangkan musuh
mereka, PKI. Soeharto menghalalkan tindakannya dengan alasan bahwa dalam
peristiwa G30S, PKI telah melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap para
Jenderal. (Cribb, 2002)
YANG HARUS
KITA PERBUAT
1. Bertanggungjawabnya
Negara bersama segenap elemen bangsa untuk bersungguh-sungguh mengambil langkah
konkrit untuk membebaskan diri dari belenggu stigma tentang Gerwani dan seluruh
stigma lain yang terkait peristiwa 1965.
2. Sangat
diharapkan semua pihak yang berpengaruh dalam pembuatan opini public termasuk
lembaga agama agar melibatkan diri dalam :
3. Upaya rekonsiliasi
ditingkat basis antara korban dan komunitasnya
4. Upaya
pengungkapan kebenaran dilingkungannya masing-masing terkait peran
masyarakat dalam peristiwa 1965
5. Memperkuat
komitmen pada prinsip-prinsip anti kekerasan dan memutus mata rantai
kebencian di masyarakat
6. Segenap
penyelenggara Negara dan elemen bangsa memberi dukungan dan menciptakan rasa
aman bagi upaya masyarakat dalam melakukan rekonsiliasi.serta tidak hanya
sekedar mengucapkan janji simbolis bahwa kejahatan berbasis gender tidak
boleh terulang lagi.
7. Masyarakat
Internasional dapat mengambil segala langkah dan tindakan untuk
memastikan dan mendukung pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya
untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan, mencegah keberulangan
pelanggaran HAM dan menjamin hak-hak perempuan korban, termasuk pemberian
reparasi.
Putar balik fakta ya mbak, mbak maen saja ke madiun tak kasih tahu sebenarnya, saya tinggal dan besar di madiun....
BalasHapus