13 Komentar
|
5827 Views
Rupanya, Freeport tidak juga puas ‘melecehkan’ kedaulatan bangsa kita. Setelah sebelumnya berhasil melobi pemerintah untuk menunda berlakunya larangan ekspor mineral mentah, kini mereka keberatan dengan aturan soal Bea Keluar Mineral.
Kamis (30/1/2013) kemarin, Vice Chairman Freeport McMoran Richard C. Adkerson tiba-tiba mengunjungi Indonesia. Kedatangan Bos Besar Freeport itu membawa misi besar: untuk melobi pemerintah agar melonggarkan aturan bea ekspor mineral bagi perusahaannya.
Tidak tanggung-tanggung, untuk mencapai keinginan perusahaannya, Richard C. Adkerson menyambangi empat Menteri yang berurusan dengan ekspor mineral, yakni Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, dan Menteri ESDM Jero Wacik.
Kita tidak tahu apa inti pembicaraan antara Adkeson dan keempat pejabat Menteri Indonesia itu. Namun, informasi dari sejumlah media menyebutkan, pemerintah tetap berpegang pada aturan yang ada. Artinya, lobi bos Freeport itu belum berhasil. Akan tetapi, kita tidak tahu apa yang menjadi kesepakatan mereka di balik pintu. Jangan-jangan ada kompensasi atau insentif terselubung. Entahlah.
Namun, apa yang menarik diulas di sini adalah langkah Freeport untuk menjegal setiap regulasi di Indonesia. Dan ini sudah berulang-kali dilakukan. Ironisnya, pemerintah seolah tidak berdaya di hadapan Freeport. Malahan, seperti dikatakan banyak orang, pemerintah kita tak ubahnya “jongos” di hadapan korporasi asal Amerika Serikat itu.
Sudah hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua. Selama itu pula mereka mengeruk jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas. Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari mencapai Rp 114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun.
Namun, di balik keuntungan yang spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak mendapat manfaat apapun. Rakyat kita di Papua sana, yang notabene berada di sekitar pertambangan Freeport, juga tidak mendapat efek keuntungan yang menetes. Sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan tetap melekat pada rakyat Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak henti-hentinya berhembus di Papua.
Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntungan yang menetes, rakyat Papua justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu serakah Freeport untuk mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi Papua. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan oleh militer Indonesia, yang notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di tanah Papua. Tak hanya itu, rakyat Papua juga merasak dampak kerusakan ekologis yang sifatnya jangka-panjang.
Kontribusi Freeport untuk penerimaan negara juga nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima royalti emas 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport juga sering membandel untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar. (Sumber: www.merdeka.com)
Karena itu, pada tahun 2011, menyeruak desakan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya dengan Freeport. Belakangan, bak gayung bersambut, Presiden SBY mememulai rencana politiknya untuk melakukan renegosisasi kontrak karya dengan sejumlah perusahaan tambang asing, termasuk Freeport. Sebagai langkah politik, Presiden SBY menerbitkan Kepres Nomor 3 tahun 2012 tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Pada kenyataannya, Freeport melawan. “Kami dilindungi kontrak karya, bukan hukum (UU) pertambangan yang baru,” kata bos Freeport Richard Adkerson. Tak hanya menentang, Freeport juga menggertak Indonesia dengan ancaman akan membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional jika pemerintah Indonesia tetap ngotot. Tak hanya itu, pemerintah AS melalui Duta Besarnya di Jakarta, Scot Marcie, juga mendesak agar rencana renegosiasi itu tidak dilanjutkan.
Gertakan Freeport itu ternyata berhasil membuat pemerintah, termasuk Presiden SBY, menjadi keder. Hingga detik ini, pemerintah Indonesia belum berhasil membawa PT. Freeport duduk di meja renegosiasi. Agenda renegosiasi kontrak karya dengan Freeport pun kandas di tengah jalan. Padahal, apa yang dituntut pemerintah Indonesia di meja renegosiasi itu terbilang sangat moderat.
Kemudian, pada bulan Mei 2013 lalu, kecelakaan besar terjadi area tambang Freeport di Timika, Papua. Sebanyak 38 pekerja tertimbun di dalam reruntuhan. Kecelakaan itu menyebabkan 25 pekerja tewas, 5 luka berat, dan 5 luka ringan. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim dua orang Menteri, yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri ESDM Jero Wacik, untuk melakukan investigasi. Yang sangat ironis, dua pejabat Indonesia itu ditolak mentah-mentah oleh Freeport.
Sekarang, kasus yang terbaru adalah soal larangan ekspor mineral mentah. Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah mengesahkan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, yang salah satu pasalnya mengatur larangan ekspor mineral mentah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah memberi toleransi waktu selama 5 tahun kepada perusahaan tambang, termasuk Freeport, untuk membangun pabrik pemurnian (Smelter). Sebuah toleransi waktu yang sangat panjang.
Ironisnya, menjelang batas akhir toleransi waktu itu, yakni tanggal 12 Januari 2014, Freeport–bersama rekannya Newmont–belum juga membangun smelter. Beberapa saat menjelang larangan ekspor mineral itu berlaku efektif, Freeport dan Newmont melancarkan perlawanan dan gertakan. Freeport mengancam akan memecat 100.000 pekerjanya. Sementara Newmont mengancam akan memecat 30.000 karyawannya.
Pemerintah kembali keder. Beberapa jam sebelum batas akhir toleransi waktu, pemerintah merevisi sendiri aturan yang dibuatnya, yakni PP nomor 23 tahun 2010 dan Permen ESDM Nomor 7 tahun 2012, untuk memberi celah kepada Freeport agar tetap boleh melakukan ekspor mineral mentah dalam bentuk konsentrat.
Ironisnya, kelonggaran itu hanya berlaku untuk Freeport dan Newmont. Sementara untuk perusahaan pengekspor timah dan bauksit, termasuk BUMN ( PT. Aneka Tambang TBK), tidak ada kelonggaran. Begitu juga dengan para pemilik IUP yang baru beberapa tahun terakhir memulai operasinya di tanah-air.
Di sini ada beberapa catatan yang bisa kita ambil. Pertama, pemerintah Indonesia tidak ubahnya “jongos” di hadapan Freeport. Pemerintah RI lebih tunduk kepada tuntutan Freeport ketimbang kepada hukum nasional. Buktinya, pemerintah tidak segan-segan mengoreksi UU yang dibuatnya sendiri jika aturan tersebut dirasakan oleh Freeport sangat merugikan kepentingannya.
Kedua, Freeport sama sekali tidak menghargai kedaulatan politik Indonesia sebagai negara merdeka, yang punya otoritas penuh untuk menjalankan konstitusinya dan menyelenggarakan peraturan di setiap jengkal tanah-airnya. Atas nama azas “kesucian kontrak”, Freeport menginjak-injak kedaulatan bangsa ini.
Selama hampir setengah abad Freeport bukan hanya menjarah kekayaan alam bangsa kita, tetapi juga menginjak-injak martabat dan kedaulatan bangsa kita. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan mereka untuk mengubah kekuasaan politik di Indonesia, sejak jaman Orde Baru hingga sekarang ini, sekedar sebagai “jongos” mereka.
Karena itu, sebagai jalan memulihkan martabat dan kedaulatan bangsa kita, harus rakyat sendiri yang bertindak. Rakyat Indonesia, yang notabene pemilik sah kekayaan alam negeri ini, harus membangun gerakan massa untuk mengambil-alih PT. Freeport.
Jumat, 31 Januari 2014 | 1:42 WIB
Rupanya, Freeport tidak juga puas ‘melecehkan’ kedaulatan bangsa kita. Setelah sebelumnya berhasil melobi pemerintah untuk menunda berlakunya larangan ekspor mineral mentah, kini mereka keberatan dengan aturan soal Bea Keluar Mineral.
Kamis (30/1/2013) kemarin, Vice Chairman Freeport McMoran Richard C. Adkerson tiba-tiba mengunjungi Indonesia. Kedatangan Bos Besar Freeport itu membawa misi besar: untuk melobi pemerintah agar melonggarkan aturan bea ekspor mineral bagi perusahaannya.
Tidak tanggung-tanggung, untuk mencapai keinginan perusahaannya, Richard C. Adkerson menyambangi empat Menteri yang berurusan dengan ekspor mineral, yakni Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Keuangan Chatib Basri, dan Menteri ESDM Jero Wacik.
Kita tidak tahu apa inti pembicaraan antara Adkeson dan keempat pejabat Menteri Indonesia itu. Namun, informasi dari sejumlah media menyebutkan, pemerintah tetap berpegang pada aturan yang ada. Artinya, lobi bos Freeport itu belum berhasil. Akan tetapi, kita tidak tahu apa yang menjadi kesepakatan mereka di balik pintu. Jangan-jangan ada kompensasi atau insentif terselubung. Entahlah.
Namun, apa yang menarik diulas di sini adalah langkah Freeport untuk menjegal setiap regulasi di Indonesia. Dan ini sudah berulang-kali dilakukan. Ironisnya, pemerintah seolah tidak berdaya di hadapan Freeport. Malahan, seperti dikatakan banyak orang, pemerintah kita tak ubahnya “jongos” di hadapan korporasi asal Amerika Serikat itu.
Sudah hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua. Selama itu pula mereka mengeruk jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas. Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari mencapai Rp 114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun.
Namun, di balik keuntungan yang spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak mendapat manfaat apapun. Rakyat kita di Papua sana, yang notabene berada di sekitar pertambangan Freeport, juga tidak mendapat efek keuntungan yang menetes. Sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan tetap melekat pada rakyat Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak henti-hentinya berhembus di Papua.
Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntungan yang menetes, rakyat Papua justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu serakah Freeport untuk mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi Papua. Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan oleh militer Indonesia, yang notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di tanah Papua. Tak hanya itu, rakyat Papua juga merasak dampak kerusakan ekologis yang sifatnya jangka-panjang.
Kontribusi Freeport untuk penerimaan negara juga nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima royalti emas 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport juga sering membandel untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar. (Sumber: www.merdeka.com)
Karena itu, pada tahun 2011, menyeruak desakan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya dengan Freeport. Belakangan, bak gayung bersambut, Presiden SBY mememulai rencana politiknya untuk melakukan renegosisasi kontrak karya dengan sejumlah perusahaan tambang asing, termasuk Freeport. Sebagai langkah politik, Presiden SBY menerbitkan Kepres Nomor 3 tahun 2012 tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Pada kenyataannya, Freeport melawan. “Kami dilindungi kontrak karya, bukan hukum (UU) pertambangan yang baru,” kata bos Freeport Richard Adkerson. Tak hanya menentang, Freeport juga menggertak Indonesia dengan ancaman akan membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional jika pemerintah Indonesia tetap ngotot. Tak hanya itu, pemerintah AS melalui Duta Besarnya di Jakarta, Scot Marcie, juga mendesak agar rencana renegosiasi itu tidak dilanjutkan.
Gertakan Freeport itu ternyata berhasil membuat pemerintah, termasuk Presiden SBY, menjadi keder. Hingga detik ini, pemerintah Indonesia belum berhasil membawa PT. Freeport duduk di meja renegosiasi. Agenda renegosiasi kontrak karya dengan Freeport pun kandas di tengah jalan. Padahal, apa yang dituntut pemerintah Indonesia di meja renegosiasi itu terbilang sangat moderat.
Kemudian, pada bulan Mei 2013 lalu, kecelakaan besar terjadi area tambang Freeport di Timika, Papua. Sebanyak 38 pekerja tertimbun di dalam reruntuhan. Kecelakaan itu menyebabkan 25 pekerja tewas, 5 luka berat, dan 5 luka ringan. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim dua orang Menteri, yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri ESDM Jero Wacik, untuk melakukan investigasi. Yang sangat ironis, dua pejabat Indonesia itu ditolak mentah-mentah oleh Freeport.
Sekarang, kasus yang terbaru adalah soal larangan ekspor mineral mentah. Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah mengesahkan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, yang salah satu pasalnya mengatur larangan ekspor mineral mentah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah memberi toleransi waktu selama 5 tahun kepada perusahaan tambang, termasuk Freeport, untuk membangun pabrik pemurnian (Smelter). Sebuah toleransi waktu yang sangat panjang.
Ironisnya, menjelang batas akhir toleransi waktu itu, yakni tanggal 12 Januari 2014, Freeport–bersama rekannya Newmont–belum juga membangun smelter. Beberapa saat menjelang larangan ekspor mineral itu berlaku efektif, Freeport dan Newmont melancarkan perlawanan dan gertakan. Freeport mengancam akan memecat 100.000 pekerjanya. Sementara Newmont mengancam akan memecat 30.000 karyawannya.
Pemerintah kembali keder. Beberapa jam sebelum batas akhir toleransi waktu, pemerintah merevisi sendiri aturan yang dibuatnya, yakni PP nomor 23 tahun 2010 dan Permen ESDM Nomor 7 tahun 2012, untuk memberi celah kepada Freeport agar tetap boleh melakukan ekspor mineral mentah dalam bentuk konsentrat.
Ironisnya, kelonggaran itu hanya berlaku untuk Freeport dan Newmont. Sementara untuk perusahaan pengekspor timah dan bauksit, termasuk BUMN ( PT. Aneka Tambang TBK), tidak ada kelonggaran. Begitu juga dengan para pemilik IUP yang baru beberapa tahun terakhir memulai operasinya di tanah-air.
Di sini ada beberapa catatan yang bisa kita ambil. Pertama, pemerintah Indonesia tidak ubahnya “jongos” di hadapan Freeport. Pemerintah RI lebih tunduk kepada tuntutan Freeport ketimbang kepada hukum nasional. Buktinya, pemerintah tidak segan-segan mengoreksi UU yang dibuatnya sendiri jika aturan tersebut dirasakan oleh Freeport sangat merugikan kepentingannya.
Kedua, Freeport sama sekali tidak menghargai kedaulatan politik Indonesia sebagai negara merdeka, yang punya otoritas penuh untuk menjalankan konstitusinya dan menyelenggarakan peraturan di setiap jengkal tanah-airnya. Atas nama azas “kesucian kontrak”, Freeport menginjak-injak kedaulatan bangsa ini.
Selama hampir setengah abad Freeport bukan hanya menjarah kekayaan alam bangsa kita, tetapi juga menginjak-injak martabat dan kedaulatan bangsa kita. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan mereka untuk mengubah kekuasaan politik di Indonesia, sejak jaman Orde Baru hingga sekarang ini, sekedar sebagai “jongos” mereka.
Karena itu, sebagai jalan memulihkan martabat dan kedaulatan bangsa kita, harus rakyat sendiri yang bertindak. Rakyat Indonesia, yang notabene pemilik sah kekayaan alam negeri ini, harus membangun gerakan massa untuk mengambil-alih PT. Freeport.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar