Tambang Emas Freeport: Kekayaan Negara yang Terampas (1)
Freeport-McMoRan
berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada
tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut
tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Berikut
ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite
Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini
tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
PT.
Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan
pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper
& Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas
terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah
melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang
Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di
kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan
berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada
tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut
tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Freeport
mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai
permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan
perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya
masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan
pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan
hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk
asli. Namun, dalam pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah
yang berkaitan dengan tidak optimalnya pengelolaan potensi ekonomi
sumberdaya mineral di wilayah pertambangan tersebut bagi penerimaan
negara.
Dalam tulisan berikut akan diuraikan mengenai potensi
tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta
pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah
Indonesia. Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah
Indonesia tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami
kerugian negara yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil,
tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.
Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi
Freeport
memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui tambang
Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada
tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat
manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang
menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari
perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari
keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari
operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK
I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian
besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh
Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk
kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia
tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang
sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining
position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena
cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah
pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu,
permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia
relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar,
Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah
dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif
rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas
yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah
menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah
sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian
Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan
dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan
Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur
Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia
Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal
dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan
ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun,
terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak
sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport.
Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut.
(1)
Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni
sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan
tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini
merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
(2)
Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena
pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU
tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan
tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang
tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(3)
Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam
UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya.
Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan.
Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak
sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I
dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap
perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak
wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan
lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(5) Tidak
ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development.
Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak
positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu,
pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya
karena gejolak sosial.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam
pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam
devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain:
tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun
berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%.
Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.
Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari
pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak
penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih
Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II
yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak
mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih
Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada
Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang
berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan
Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena
ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg.
Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru
berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari
orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk
mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak
Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan
finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang
terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan.
Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali,
meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di
Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak
Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi
(pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport
tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross
revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih
adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan
(smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang
dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti
(yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga
tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat
tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Di
dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan
yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun
untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per
hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$
1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi.
Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan
sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$
= Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per
tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral
yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut
secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan
peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan
Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang
operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara
implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi
tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%)
harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29%
saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam
negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan
langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport,
tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah
Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika
Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi
kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat
sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai
pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak
menguntungkan lagi secara ekonomis. (bersambung)
foto ilustrasi: safecom
http://eramuslim.com/berita/laporan-khusus/tambang-emas-freeport-kekayaan-negara-yang-terampas.htm
Tambang Emas Freeport: Kekayaan Negara yang Terampas (2)
Produksi
tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991
sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena
semakin besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah.
Berikut
ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite
Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini
tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Potensi Tambang Raksasa Freeport
Permintaan
akan bahan tambang di pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan
terus meningkat. Permintaan tembaga, misalnya, terus naik bersamaan
dengan meningkatnya perekonomian negara-negara di dunia. Hal ini
dibarengi dengan peningkatan sektor industri, terutama industri yang
berkaitan dengan sektor telekomunikasi dan listrik. Freeport sebagai
produsen tembaga tentunya sangat diuntungkan oleh kebutuhan industri
ini.
Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh
produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia
menunjukan peningkatan, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993
hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52 juta ton pada tahun 1995.
Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia menunjukan
kecenderungan untuk terus naik. Sementara itu, negara-negara produsen
lainnya seperti Amerika dan Canada telah mencapai titik maksimum
produksi.
Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat
diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk
memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga
jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport. Produksi
tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991
sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena
semakin besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah. Saat ini
produksi tembaga Indonesia 100% dihasilkan oleh PT Freeport.
Wilayah
penambangan PT Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta
hektar atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Padahal, awal
beroperasinya PT FI hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908
hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu dapat
dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg
(1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam
yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun
1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali
lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta
ton metrik bijih.
1. Potensi Ertsberg
Pada
tahun 1936, seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy melakukan
ekspedisi petualangan ke tanah Papua bersama timnya. Dozy dan timnya
sampai pada puncak pegunungan, di mana dijumpai adanya singkapan batuan
yang ditengarai mengandung mineral berharga. Dari penemuan lokasi
singkapan itu kemudian mengantarkan pada ditemukannya “Ertsberg” atau
Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan
bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden,
Belanda pada tahun 1939. Laporan itu mengilhami seorang manajer
eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint
pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua untuk mempelajari lebih
jauh tentang hasil temuan tersebut dan meyakini bahwa cadangan mineral
Ertsberg akan menjadi cadangan tembaga terbesar. Dugaan tersebut
terbukti, Ertsberg merupakan cadangan tembaga terbesar yang pernah
ditemukan pada saat itu.
Ertsberg terdiri dari 40-50 persen
oksida besi dalam bentuk mineral magnetit; 3,5% tembaga dalam bentuk
mineral kalkopirit dan bornit (keduanya sulfida besi dan tembaga).
Dengan demikian, Ertsberg merupakan deposit tembaga terkaya yang pernah
ditemukan di atas permukaan tanah . Analisis laboratorium memastikan
perkiraan ekspedisi bahwa terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”,
suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih.
Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk
setiap kedalaman 100 meter. Jumlah keseluruhan diperkirakan mencapai 50
juta ton bijih.
Kita tidak mempunyai data yang akurat tentang
berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam
perencanaan dan kesepakatan awal, tampaknya disetujui bahwa wilayah
tambang hanya akan memproduksi tembaga, dan ini yang menjadi dasar
mengapa pada awalnya lokasi pertambangan dinamakan Tembagapura.
Disamping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas.
Emas yang semula ”dianggap” hanyalah by product, belakangan menjadi
produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya
konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang
ditemukan.
Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by
product ini karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang
mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi pada periode awal
penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di
Jepang maupun di Amerika. Disamping itu Freeport pun belum menjadi
perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate
governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport
telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak
dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Dari
data yang kami kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral
Ertsberg mencapai 50 juta ton bijih mineral . Dinas Pertambangan Papua
menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu
2,5%. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga selama sekitar 20 tahun
periode penambangan di Ertsberg adalah US$ 2000/ton, pendapatan yang
dapat diraih dari seluruh potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35
juta ton x 2000 US$ /ton) = US$ 70 miliar.
Perlu diingat bahwa
selama periode Ertsberg, Freeport adalah perusahaan tertutup, dan
smelter yang digunakan untuk memurnikan hasil tambangnya dilakukan di
Jepang dan Amerika. Disamping itu, seperti disebutkan di atas tambang
”Tembagapura” juga menghasilkan emas yang diakui sebagai ”by product”,
yang saat itu dijual oleh Freeport tanpa kontrol pemerintah. Dengan
demikian, total nilai pendapatan yang telah dihasilkan oleh Freeport
selama menambang Ertsberg diyakini lebih besar dari US$ 70 miliar yang
disebutkan di atas.
2. Potensi Grasberg
Setelah
me-review produksi dan pendapatan Ertsberg, kita juga akan membahas
potensi produksi dan pendapatan tambang Grasberg. Untuk itu kita melihat
data cadangan mineral Grasberg yang terindikasi sejak 31 Desember 1995
pada Tabel 1 di bawah ini.
Wilayah
konsesi Freeport di Grasberg menyimpan potensi tembaga, emas dan perak
dalam jumlah yang sangat besar. Kandungan logam yang terdapat pada
deposit sangat tinggi, yaitu 1,9 miliar ton. Deposit logam tersebut
mengandung potensi cadangan tembaga 18 juta ton (40, 3 milyar pond),
emas mencapai 1600 ton (52,1 juta ons) dan perak 3400 ton (111 juta
ons). Dengan kapasitas yang ada sekarang 115.000 MTPD (million ton per
day), diperkirakan umur tambang tersebut sekitar 46 tahun (estimasi
tahun 1994 adalah 27 tahun).
Potensi cadangan tembaga, emas, dan
perak, dari tahun ke tahun dapat saja berubah, tergantung hasil
eksplorasi yang dilakukan. Oleh sebab itu, untuk tambang Grasberg
potensi cadangan menunjukkan trend yang terus meningkat. Selama periode
1990-1995, potensi cadangan tembaga meningkat 190%, cadangan emas
meningkat 167% dan cadangan perak 220%. Sedangkan pada akhir Desember
2001, kita catat bahwa cadangan emas secara agregat adalah 64,5 juta
ons, dan cadangan tembaga secara agregat adalah 52,5 miliar ons.
Cadangan
Grasberg yang ditemukan tersebut akhirnya melipatgandakan cadangan
total menjadi 200 juta ton metrik. Berdasarkan data-data yang
ditampilkan pada Laporan Keuangan Freeport bulan Juni 2009, kita
menemukan bahwa cadangan emas dan tembaga tambang Grasberg masing-masing
sebesar 38,5 juta ons dan 35, 6 juta ton. Dengan harga rata-rata emas
dan tembaga sepanjang periode tambang diasumsikan masing-masing sebesar
900US$ /ons, dan 5.000 US$ /ton, total potensi pendapatan emas tambang
Grasberg adalah ( 38,5 juta ons X 900US$ /ons) = 34, 65 US$ miliar.
Sedangkan total potensi pendapatan tembaga tambang Grasberg adalah (35, 6
juta ton X 5.000 US$/ ton) = 178 US$ miliar.
Jika diasumsikan
mineral yang ditambang hanya emas dan tembaga, total potensi pendapatan
tambang Grasberg adalah sekitar US$ 212,65 miliar. Namun, karena adanya
kandungan perak dan berbagai unsur mineral lainnya, total potensi
pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar atau sekitar
Rp 3000 triliun! Indonesia harus mendapatkan bagian yang lebih besar
dari potensi ini.
Pendapatan Freeport dan Perubahan Menjadi Perusahaan Raksasa
Berdasarkan
potensi kandungan mineral yang diuraikan di atas, diperoleh bahwa total
pendapatan yang dapat diterima di Ertsberg minimal US$ 70 miliar dan
total potensi pendapatan di Grasberg bernilai sekitar US$ 300 miliar.
Dari total potensi tersebut, kita menemukan bahwa sejauh ini Freeport
sebagai penambang, telah memperoleh porsi pendapatan yang lebih besar
dibanding negara sebagai pemilik sumberdaya. Hal ini dapat kita temukan
dari data-data yang diperoleh maupun dalam laporan keuangan yang
diterbitkan Freeport.
Pendapatan berdasarkan estimasi potensi
mineral selama periode Ertsberg di atas adalah sekitar US$ 70 miliar.
Kami tidak menuduh bahwa Freeport telah melakukan manipulasi. Namun,
fakta bahwa emas diakui sebagai by product pada awal penambangan, dan
bahwa perak tidak dinyatakan sebagai mineral yang dihasilkan, merupakan
potensi pendapatan yang sangat besar yang mungkin saja disembunyikan
dalam laporan keuangan resmi Freeport. Dengan demikian, jika hal ini
benar, tidak mengherankan kalau Freeport yang pada awal berdirinya
adalah perusahaan gurem bisa menjelma menjadi perusahaan raksasa dalam
waktu singkat.
Dugaan penipuan atau penyembunyian total
pendapatan dari unsur emas sebagai “by product” ini pada gilirannya
telah pula merugikan penerimaan negara dalam jumlah sangat besar. Mereka
menjadi besar diduga karena menipu dan menjajah. Tetapi memang ini
terjadi akibat adanya penyelewengan dan KKN oleh oknum-oknum Indonesia
juga.
Berdasarkan
tabel di atas, jika kita membandingkan akumulasi pendapatan PT Freeport
Indonesia (2004-2008) dengan penerimaan Indonesia (2004-2008) akan
dapat terlihat nyata, bahwa Indonesia sangat dirugikan. Total pendapatan
PT Freeport Indonesia dari tahun 2004-2008 adalah US$ 17,893 miliar.
Jika seluruh pengeluaran biaya operasi dan pajak yang dikeluarkan
Freeport diasumsikan 50% dari pendapatan, penerimaan bersih Freeport
selama 2004-2008 adalah US$ US$ 8,946 miliar.
Pada Tabel 2 di
atas kita juga dapat menghitung total penerimaan dari berasal dari pajak
dan royalti sebesar US$ 4,411 miliar. Dengan demikian, Indonesia
sebagai pemilik sah sumberdaya mineral tersebut justru memperoleh
penerimaan yang lebih kecil dibanding Freeport sebagai kontraktor
pemegang hak KK, dengan perbandingan U$ 4,411 miliar (Indonesia): U$$
8,946 miliar (Freeport). Perbedaan penerimaan yang merugikan Indonesia
ini harus segera diubah, dan caranya adalah dengan renegosiasi KK dan
pemilikan saham Freeport oleh BUMN.
Seperti disebutkan di atas,
disamping tembaga, Freeport merupakan penghasil utama emas Indonesia.
Emas saat ini menjadi produk utama Freeport, bukan lagi tembaga. Hal ini
disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan
galian/deposit yang ditemukan. Produksi emas ini terus meningkat hingga
mencapai 67% dari produksi emas nasional pada tahun 1995.
Sejak
menemukan deposit emas terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di
dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia. Total
asset yang dimiliki PT Freeport Indonesia hingga akhir tahun 2005
mencapai US$ 5,55 miliar. Pada Januari 2006, PT FI mengumumkan
pendapatan tahun 2005 mencapai angka US$ 4,012 miliar (setara Rp 40
triliun), naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Bahkan pada tahun
2007 menyebutkan pendapatan PT FI mencapai US$ 5,315 miliar.
Berdasarkan
laporan keuangan Juni 2008, dapat dilihat bahwa nilai total asset PT FI
adalah sebesar US$ 23,35 miliar. Sebagai kesimpulan, kita mendesak agar
pemerintah Indonesia segera memiliki saham di Freeport. Namun, harga
saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX. Harga
saham tersebut haruslah lebih kecil, dengan memperhitungkan berbagai
penyelewengan dan kemudahan yang telah diterima PTFI selama berinvestasi
di Indonesia. (bersambung)
http://eramuslim.com/berita/laporan-khusus/tambang-emas-freeport-kekayaan-negara-yang-terampas-2.htm
*) Tentang Penulis:
Marwan
Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili
provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro
Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University
(Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan
jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah
Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap
bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar