Jendral Besar A.H. Nasution:* “*FITNAH LEBIH KEJAM Dari PEMBUNUHAN”*
*Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 22 Oktober 2012
-----------------------------*
*Jendral Besar A.H. Nasution:*
“*FITNAH LEBIH KEJAM Dari PEMBUNUHAN”*
** * **
*< Sekelumit dari buku “Mengembara Dalam Prahara”, oleh Heryani Busono Wiwoho>*
*HERYANI BUSONO WIWOHO MENGGUGAT SOEHARTO . . . . !!!*
“*Saksi Bisu dari Ruang Forensik”*.
“Setelah mendengar ceritanya, kini kami yakin benar bahwa cerita Gerwani Lubang Buaya yang menyilet, yang memotong-motong dan menari-nari dengan lagu tabur bunga, seperti yang tergambar dalam relief monumen ketujuh jendral di Lubang Buaya adalah bohong besar. Suatu skenario licik dan fitnah untuk menjatuhkan Gerwani.
“Ironisnya, seingatku Jendral Besar AH Nasution, yang kemudian diangkat menjadi Ketua MPRS, pernah mengatakan bahwa *fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. *Mengapa justru mereka sendirilah ketika itu yang menaburkan fitnah. Fitnah yang benar-benar merendahkan dan menghina harkat dan martabat perempuan.
“Celakanya lagi , dan itulah tujuan mereka, rakyat kebanyakan sudah termakan isu ini. Termasuk istri-isti adik mas Bus. Jadi adik-adik iparku atau kerabatku lainnya, kemudian sangat membenci Gerwani. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan mereka.
“Karena gencarnya fitnah yang dilakukan terus menerus, membuat masyarakat amat mudah terpengaruh. Sekali lagi kita tidak dapat menyalahkan masyarakat yang pemahamannya telah terbentuk. Akibat dari kebohongan-kebohongan yang disebar-luaskan pemerintah Soeharto, baik melalui film, dokumen, media cetak, media elektronik maupun monumen selama puluhan tahun. Apalagi tanpa ada pihak-pihak yang melakukan pembelaan. Konon hanya ada dua surat kabar yang diijinkan terbit saat itu. Kedua surat kabar itu adalah *“Berita Yuda” dn “Angkatan Besenjata” .*
* * *
Kata-kata tsb diatas adalah sebagian kecil dari buku yang terbit tahun ini, oleh Heryani BusonoWisoho, berjudul : *“Mengembara Dalam Prahara” Dari Wirogunan Sampai Plantungan”.*
Heryani mengisahkan bagaimana seorang Jendral Besar: Jendral Besar AH Nasution pernah berucap bahwa: “Fitnah Lebih Kejam Daripada Pembunuhan”. Namun adalah kaum militer itu sendiri di bawah Jendral Suharto yang menyebar fitnah dan kebohongan melalui media pers, film, dokumentasi, a.l. s.k. “Berita Yuda” dan “Angkatan Bersenjata”, bahwa perempuan-perempuan Gerwani telah melakukan kekejaman dan kebiadaban terhadap jendral-jendral di Lubang Buaya, a.l. Dengan menyilet kemaluan para jendral dan mencungkil mata mereka.
Berikut ini kisah selanjutnya mengenai fitnah dan kebohongan tentara di bawah Jendral Suharto sekitar apa yang mereka rekayasa tentang peranan “perempuan-perempuan Gerwani di Lubang Buaya”. Heryani sempat mendengar sendiri kisah perempuan pelacur bernama Nur yang dipaksa dan diintimidasi tentara untuk mengaku Gerwani dan berada di Lubang Buaya, dsb.
“Setelah mondar-mandir beberapa saat di emper sel kami, mereka keluar meninggalkan tempat kami. Sesaat sebelum keluar, tiba-tiba salah seorang tentara berhenti dan menoleh kepada seorang gadis hitam manis tapi agak dekil yang berdiri di dekat pintu. Demikian lanjut Heryani.
“Hei, Gerwani Lubang buaya”, ujarnya dengan suara menyentak. “Berapa kali kamu dimakan AURI sehari?”.
“Tiga kali, Pak, pagi, siang dan malam”, jawabnya gemetar tetapi keras, sehingga jelas sekali jawabannya bagi kami.
Aku dan ibu-ibu lainnya hampir tak dapat menahan ketawa. Kami geli karena lain yang ditanya, lain pula yang dijawab. Kami yakin gadis itu, mengira, berapa kali dia diberi makan oleh AURI. Namun dengan tak disangka-sangka tentara itu menendang kedua kaki gadis tadi dengan sepatunya yang keras.
“Ampun Pak, ampun Pak”, teriak gadis.
“Aku menahan nafas seketika. Aku tidak jadi geli melihat adegan tersebut. Demikian juga halnya dengan ibu-ibu lainnya, yang semula ingin tersenyum, menjadi kecut wajahnya.
“Setelah tentara-tentara itu pergi dan kami dikunci lagi, beberapa ibu yang baru masuk dua hri yang lalu, mendekati gadis itu.
“Ada apa kamu ke Lubang Buaya?”, tanya salah seorang ibu.
“Aku nggak pernah ke Lubang Buaya kok”.
“Namamu siapa?”, tanya ibu lainnya.
“Ia lalu bercerita bahwa namanya Nur, Nurgiyanti. Ia mengaku kalau profesinya sebagai seorang pelacur. Ia sedang berada di Magelang ketika dibawa seorang PM (Polisi Militer) ke markas mereka. Ia diajak nonton bioskop oleh Lestari, begitu nama |PM tersebut. Kemudian dia dibelikan pakaian dan berjanji akan mengawininya. Asal si Nur mau difoto dengan membawa senjata dan dia harus mengaku bahwa dia Gerwani Lubang Buaya. Kebetulan Nurgiyanti punya luka koreng pada tumitnya, dan iapun harus mengaku kalau luka itu adalah luka tembak sewaktu melarikan diri. Dia mau saja, dan akan dikawin tentara. Lagipula lanjutnya, apa sih susahnya difoto. Gagah lagi, pakai senjata.
* * *
Berikut ini Heryani mengungkap, -- apa yang dibacanya sendiri di dalam majalah*INTISARI, September 2009*, halaman 122-129. Yang menguakkan lebih lanjut “tabir” sekitar fitnah dan*kebohongan *bahwa jenazah para jendral yang dikubur di Lubang Buaya, kemaluannya disilet dan matanya dicungkil.
Tulis Heryani: “Disini diungkap fakta forensik jenital korban G30S dengan judul: *“Saksi Bisu dari Ruang Forensik”*. A.l sebagai berikut:
“Tim terdiri atas dua dokter RSPAD, yaitu dr Brigjen Roebiono Kertopati dan dr Kolonel Frans Pattiasinal serta tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman Universitas Indonesia (UI) yaitu Prof dr Sutomo Tjokronegoro, dr Liau Yan Siang, dan dr Liem Joe Thay. Mereka bekerja delapan jam dari pukul 16.30 pada 4 Oktober sampai pukul 00.30 pada 5 Oktober di kamar mayat RSPAD.”
“Selanjutnya pada halaman 124, kolom pertama, alinea pertama tertulis,
“*Tapi ada fakta mengejutkan: tidak ada pencungkilan mata dan pemotongan penis para korban.* Tim sengaja berkonsentrasi pada pembuktian dua dugaan itu mengingat kabar sudah beredar di masyarakat”.
“Kemudian masih ada halaman 124 alinea ke-2, baris ke-3 dari bawah ditulis:
“Ada ketakutan kalau menuliskan apa adanya mereka akan dicap pro-PKI”.
“Maka pada halaman 124 pada kolom ke-2, alinea pertama ditulis:
“ *Pagi itu akhirnya tim dokter bersepakat untuk menulis fakta apa adanya, dengan pertimbangan kesetiaan pada sumpah pro0fesi untuk menyatakan kebenaran. Mereka juga sepakat untuk siap masuk penjara karena mengambil sikap itu.*
“Selanjutnya masih ada halaman 124 kolom ke-2 alinea kedua, tertulis:
“Pada masa Orde Baru, sekeping kebenaran dari kamar mayat RSPAD itu tidak pernah terungkap di publik. *Visum et Repertum *juga seolah hilang. Setelah selesai disusun, hasil visum saat itu diberikan kepada Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) yang selalu mengawasi tim dokter saat bekerja. Dalam pengadilan militer anggota TNI AU, Heru Atmodjo pada perkara G30S, visum dijadikn alat bukti. Tapi setelah itu tak tentu rimbanya.”
* * *
Melalui bukunya, Heryani Busono Wiwoho, melakukan penggugatan historis demikian:
“Demikian antara lain tulisan di dalam majalah*INTISARI*.*Mengapa fakta yang tertulis dalam visum kemudian *_*tidak *_*disebar-luaskan? Tentu saja karena: *
*1. Agar fitnah keji Soeharto cs tidak dianggap _kebohongan besar_oleh masyarakat. Dan Soeharto tetap dianggap pahlawan oleh masyarakat. *
*2. Agar masyarakat tetap membenci Gerwani dan PKI, dan tetap marah kepada mereka. *
*3. Agar pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa dianggap sah.
Agar penahanan ratusan ribu manusia yang tidak berdosa tanpa proses
pengadidlan di dalam penjara sampai belasan tahun serta pembuangan
puluhan ribu anak bangsa yang tidak bersalah dianggap sah.*
*4. Agar pelaku kejahatan dan pelaku pelanggaran HAM ini, tidak
dituntut dan terlindungi. *
*5. Agar relief tarian telanjang bunga harum yang terukir pada
bagian bawah menument Lubang Buaya tidak perlu dihiolangkan dan
teatap**Berjaya (Meski semua ini bohong besar*. Baca “Suara
Perempuan Korban Tragedi '65, hlm 16, 17, 18.
“Ironis sekali. . . . . Indonesia, . . . para pemimpinnya yang mengaku Pancasilais telah membohongi rakyatnya. Dengan sengaja, menutupi, memalsukan dan membelokkan sejarah.
“Mereka yang menepuk dada “pejuang di meda perang”, kini menjadi pengecut. |Soeharto sebagai penguasa Orde Baru adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan masal dan pelanggaran HAM lainnya. Ia menjadi _begitu ketakutan_sehingga dia selalu berdalih sakit, setiap kali akan diajukan ke kursi pengadilan. Kalau dia memang tidak berdosa atau bersalah, mengapa dia harus takut”.
* * *
Karya sejarah buah pena Heryani, telah memperkaya kesaksian dan pengalaman betapa luar-biasa dan begitu gawat dampaknya FITNAH DAN KEBOHONGAN SEKITAR LUBANG BUAYA DAN PERANAN GERWANI, yang dilancarkan Suharto sebagai dalih dan awal pembantaian masal 1965-66 dst.
*Memang ironis dan amat memalukan, setiap 5 Oktober tentara termasuk Presiden SBY mengadakan upacara HARI KESAKTIAN PANCASIL di depan monumen Lubang Buaya, justru dimana diantra relief yang terukir di monumen itu, tergurat FITNAH DAN KEBOHONGAN YANG PALING BESAR, KEJAM DAN BIADAB . . . . YANG PALING MEMBENGKOKKAN CATATAN SEJARAH BANGSA . . .*
** * **
Senin, 22 Oktober 2012
-----------------------------*
*Jendral Besar A.H. Nasution:*
“*FITNAH LEBIH KEJAM Dari PEMBUNUHAN”*
** * **
*< Sekelumit dari buku “Mengembara Dalam Prahara”, oleh Heryani Busono Wiwoho>*
*HERYANI BUSONO WIWOHO MENGGUGAT SOEHARTO . . . . !!!*
“*Saksi Bisu dari Ruang Forensik”*.
“Setelah mendengar ceritanya, kini kami yakin benar bahwa cerita Gerwani Lubang Buaya yang menyilet, yang memotong-motong dan menari-nari dengan lagu tabur bunga, seperti yang tergambar dalam relief monumen ketujuh jendral di Lubang Buaya adalah bohong besar. Suatu skenario licik dan fitnah untuk menjatuhkan Gerwani.
“Ironisnya, seingatku Jendral Besar AH Nasution, yang kemudian diangkat menjadi Ketua MPRS, pernah mengatakan bahwa *fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. *Mengapa justru mereka sendirilah ketika itu yang menaburkan fitnah. Fitnah yang benar-benar merendahkan dan menghina harkat dan martabat perempuan.
“Celakanya lagi , dan itulah tujuan mereka, rakyat kebanyakan sudah termakan isu ini. Termasuk istri-isti adik mas Bus. Jadi adik-adik iparku atau kerabatku lainnya, kemudian sangat membenci Gerwani. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan mereka.
“Karena gencarnya fitnah yang dilakukan terus menerus, membuat masyarakat amat mudah terpengaruh. Sekali lagi kita tidak dapat menyalahkan masyarakat yang pemahamannya telah terbentuk. Akibat dari kebohongan-kebohongan yang disebar-luaskan pemerintah Soeharto, baik melalui film, dokumen, media cetak, media elektronik maupun monumen selama puluhan tahun. Apalagi tanpa ada pihak-pihak yang melakukan pembelaan. Konon hanya ada dua surat kabar yang diijinkan terbit saat itu. Kedua surat kabar itu adalah *“Berita Yuda” dn “Angkatan Besenjata” .*
* * *
Kata-kata tsb diatas adalah sebagian kecil dari buku yang terbit tahun ini, oleh Heryani BusonoWisoho, berjudul : *“Mengembara Dalam Prahara” Dari Wirogunan Sampai Plantungan”.*
Heryani mengisahkan bagaimana seorang Jendral Besar: Jendral Besar AH Nasution pernah berucap bahwa: “Fitnah Lebih Kejam Daripada Pembunuhan”. Namun adalah kaum militer itu sendiri di bawah Jendral Suharto yang menyebar fitnah dan kebohongan melalui media pers, film, dokumentasi, a.l. s.k. “Berita Yuda” dan “Angkatan Bersenjata”, bahwa perempuan-perempuan Gerwani telah melakukan kekejaman dan kebiadaban terhadap jendral-jendral di Lubang Buaya, a.l. Dengan menyilet kemaluan para jendral dan mencungkil mata mereka.
Berikut ini kisah selanjutnya mengenai fitnah dan kebohongan tentara di bawah Jendral Suharto sekitar apa yang mereka rekayasa tentang peranan “perempuan-perempuan Gerwani di Lubang Buaya”. Heryani sempat mendengar sendiri kisah perempuan pelacur bernama Nur yang dipaksa dan diintimidasi tentara untuk mengaku Gerwani dan berada di Lubang Buaya, dsb.
“Setelah mondar-mandir beberapa saat di emper sel kami, mereka keluar meninggalkan tempat kami. Sesaat sebelum keluar, tiba-tiba salah seorang tentara berhenti dan menoleh kepada seorang gadis hitam manis tapi agak dekil yang berdiri di dekat pintu. Demikian lanjut Heryani.
“Hei, Gerwani Lubang buaya”, ujarnya dengan suara menyentak. “Berapa kali kamu dimakan AURI sehari?”.
“Tiga kali, Pak, pagi, siang dan malam”, jawabnya gemetar tetapi keras, sehingga jelas sekali jawabannya bagi kami.
Aku dan ibu-ibu lainnya hampir tak dapat menahan ketawa. Kami geli karena lain yang ditanya, lain pula yang dijawab. Kami yakin gadis itu, mengira, berapa kali dia diberi makan oleh AURI. Namun dengan tak disangka-sangka tentara itu menendang kedua kaki gadis tadi dengan sepatunya yang keras.
“Ampun Pak, ampun Pak”, teriak gadis.
“Aku menahan nafas seketika. Aku tidak jadi geli melihat adegan tersebut. Demikian juga halnya dengan ibu-ibu lainnya, yang semula ingin tersenyum, menjadi kecut wajahnya.
“Setelah tentara-tentara itu pergi dan kami dikunci lagi, beberapa ibu yang baru masuk dua hri yang lalu, mendekati gadis itu.
“Ada apa kamu ke Lubang Buaya?”, tanya salah seorang ibu.
“Aku nggak pernah ke Lubang Buaya kok”.
“Namamu siapa?”, tanya ibu lainnya.
“Ia lalu bercerita bahwa namanya Nur, Nurgiyanti. Ia mengaku kalau profesinya sebagai seorang pelacur. Ia sedang berada di Magelang ketika dibawa seorang PM (Polisi Militer) ke markas mereka. Ia diajak nonton bioskop oleh Lestari, begitu nama |PM tersebut. Kemudian dia dibelikan pakaian dan berjanji akan mengawininya. Asal si Nur mau difoto dengan membawa senjata dan dia harus mengaku bahwa dia Gerwani Lubang Buaya. Kebetulan Nurgiyanti punya luka koreng pada tumitnya, dan iapun harus mengaku kalau luka itu adalah luka tembak sewaktu melarikan diri. Dia mau saja, dan akan dikawin tentara. Lagipula lanjutnya, apa sih susahnya difoto. Gagah lagi, pakai senjata.
* * *
Berikut ini Heryani mengungkap, -- apa yang dibacanya sendiri di dalam majalah*INTISARI, September 2009*, halaman 122-129. Yang menguakkan lebih lanjut “tabir” sekitar fitnah dan*kebohongan *bahwa jenazah para jendral yang dikubur di Lubang Buaya, kemaluannya disilet dan matanya dicungkil.
Tulis Heryani: “Disini diungkap fakta forensik jenital korban G30S dengan judul: *“Saksi Bisu dari Ruang Forensik”*. A.l sebagai berikut:
“Tim terdiri atas dua dokter RSPAD, yaitu dr Brigjen Roebiono Kertopati dan dr Kolonel Frans Pattiasinal serta tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman Universitas Indonesia (UI) yaitu Prof dr Sutomo Tjokronegoro, dr Liau Yan Siang, dan dr Liem Joe Thay. Mereka bekerja delapan jam dari pukul 16.30 pada 4 Oktober sampai pukul 00.30 pada 5 Oktober di kamar mayat RSPAD.”
“Selanjutnya pada halaman 124, kolom pertama, alinea pertama tertulis,
“*Tapi ada fakta mengejutkan: tidak ada pencungkilan mata dan pemotongan penis para korban.* Tim sengaja berkonsentrasi pada pembuktian dua dugaan itu mengingat kabar sudah beredar di masyarakat”.
“Kemudian masih ada halaman 124 alinea ke-2, baris ke-3 dari bawah ditulis:
“Ada ketakutan kalau menuliskan apa adanya mereka akan dicap pro-PKI”.
“Maka pada halaman 124 pada kolom ke-2, alinea pertama ditulis:
“ *Pagi itu akhirnya tim dokter bersepakat untuk menulis fakta apa adanya, dengan pertimbangan kesetiaan pada sumpah pro0fesi untuk menyatakan kebenaran. Mereka juga sepakat untuk siap masuk penjara karena mengambil sikap itu.*
“Selanjutnya masih ada halaman 124 kolom ke-2 alinea kedua, tertulis:
“Pada masa Orde Baru, sekeping kebenaran dari kamar mayat RSPAD itu tidak pernah terungkap di publik. *Visum et Repertum *juga seolah hilang. Setelah selesai disusun, hasil visum saat itu diberikan kepada Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) yang selalu mengawasi tim dokter saat bekerja. Dalam pengadilan militer anggota TNI AU, Heru Atmodjo pada perkara G30S, visum dijadikn alat bukti. Tapi setelah itu tak tentu rimbanya.”
* * *
Melalui bukunya, Heryani Busono Wiwoho, melakukan penggugatan historis demikian:
“Demikian antara lain tulisan di dalam majalah*INTISARI*.*Mengapa fakta yang tertulis dalam visum kemudian *_*tidak *_*disebar-luaskan? Tentu saja karena: *
*1. Agar fitnah keji Soeharto cs tidak dianggap _kebohongan besar_oleh masyarakat. Dan Soeharto tetap dianggap pahlawan oleh masyarakat. *
*2. Agar masyarakat tetap membenci Gerwani dan PKI, dan tetap marah kepada mereka. *
*3. Agar pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa dianggap sah.
Agar penahanan ratusan ribu manusia yang tidak berdosa tanpa proses
pengadidlan di dalam penjara sampai belasan tahun serta pembuangan
puluhan ribu anak bangsa yang tidak bersalah dianggap sah.*
*4. Agar pelaku kejahatan dan pelaku pelanggaran HAM ini, tidak
dituntut dan terlindungi. *
*5. Agar relief tarian telanjang bunga harum yang terukir pada
bagian bawah menument Lubang Buaya tidak perlu dihiolangkan dan
teatap**Berjaya (Meski semua ini bohong besar*. Baca “Suara
Perempuan Korban Tragedi '65, hlm 16, 17, 18.
“Ironis sekali. . . . . Indonesia, . . . para pemimpinnya yang mengaku Pancasilais telah membohongi rakyatnya. Dengan sengaja, menutupi, memalsukan dan membelokkan sejarah.
“Mereka yang menepuk dada “pejuang di meda perang”, kini menjadi pengecut. |Soeharto sebagai penguasa Orde Baru adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan masal dan pelanggaran HAM lainnya. Ia menjadi _begitu ketakutan_sehingga dia selalu berdalih sakit, setiap kali akan diajukan ke kursi pengadilan. Kalau dia memang tidak berdosa atau bersalah, mengapa dia harus takut”.
* * *
Karya sejarah buah pena Heryani, telah memperkaya kesaksian dan pengalaman betapa luar-biasa dan begitu gawat dampaknya FITNAH DAN KEBOHONGAN SEKITAR LUBANG BUAYA DAN PERANAN GERWANI, yang dilancarkan Suharto sebagai dalih dan awal pembantaian masal 1965-66 dst.
*Memang ironis dan amat memalukan, setiap 5 Oktober tentara termasuk Presiden SBY mengadakan upacara HARI KESAKTIAN PANCASIL di depan monumen Lubang Buaya, justru dimana diantra relief yang terukir di monumen itu, tergurat FITNAH DAN KEBOHONGAN YANG PALING BESAR, KEJAM DAN BIADAB . . . . YANG PALING MEMBENGKOKKAN CATATAN SEJARAH BANGSA . . .*
** * **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar