PT. Freeport: Ladang Uang Haram Pejabat (1967-2041)
Gambar: kabarnet.files |
Sepanjang Januari 2015 kemarin,
semua nalar focus pada upaya realisasi salah satu zikir politik sang Presiden
untuk mereformasi penegak hukum yang bersih dan bebas dari praktek KKN. Tak
disangka-sangka, pasca penunjukan Budi Gunawan sebagai Kapolri baru, berbuah
konfrontasi politik antara KPK dan Kompolnas. Namun disaat perhatian
masyarakat sepenuhnya tercurah kesitu, sebuah peristiwa besar sedang
berlangsung dibelakang layar.
PT.Freeport sibuk melobi
meminta ini dan itu. hasilnya, mendapat izin perpanjangan kontrak ekspor selama
6 bulan kedepan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat
(23/1/2015), memutuskan untuk memperpanjang pembahasan amandemen kontrak kerja
PT Freeport Indonesia hingga enam bulan ke depan. Dengan keputusan ini,
praktis, larangan ekspor bahan tambang akibat tidak mematuhi Pasal 170 UU
4/2009, yang mewajibkan setiap perusahan tambang membangun fasilitas pemurnian
biji mineral mentah (smelter) yang diterapkan oleh pemerintah sebelumnya kepada
Freeport, sudah tidak berlaku.
Jika cermat dilihat, akan
dipahami ini merupakan bentuk dari politik Smock Screen (menindis satu isu
dengan isu lain). Penangkapan Bambang Widjayanto misalnya, ternyata
hanyalah sebuah pengalihan isu yang diciptakan sehingga tidak ada yang memperhatikan
bahwa pada saat yang sama, hanya dengan lobi singkat berdurasi 7,5 jam di
gedung Kementrian ESDM perpanjangan ekspor pun diberikan.
Jika benar seperti itu lantas
siapa dalang dibalik permainan ini? Setiap orang punya penilaian masing-masing.
Yang Pasti, ini adalah permainan orang-orang hebat yang tercatat berhasil dalam
meperjungkan dan melindungi kepentingan diantara mereka. Kepentingan yang
didapatkan jika PT. Freeport tetap beroperasi dan memegang kendali 100% atas
fungsi manajemen serta opersional ekploitasi bahan mineral bukit Grasberg.
Perhatikanlah Hukum merupakan
produk politik. Sementara politik tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari
kepentingan ekonomi yang dominan. Ketika kepentingan ekonomi yang digagas
adalah ekonomi neoliberal, sedangkan lembaga politik yang ada diisi oleh
politikus dan teknokrat pro market, maka aturan perundang-undangan yang
dihasilkan pun akan mengandung semangat liberalisasi.
Awal 2015 ini, kehidupan ekonomi,
politik dan sosial masyarakat, mendapatkan momentum untuk semakain
terintegritas dengan meknaisme pasar. Mulai dari Naik turunnya harga BBM, LPG
12 kg dan listrik sesuai mekanisme pasar serta komersialisasi penyediaan
infrastruktur lewat Penyertaan Modal Negara Rp 72 triliun dalam APBN-P 2015.
Dan yang paling mutakhir adalah, kompolnas VS KPK = perpanjangan
izin kontrak eksport Freeport 6 bulan kedepan.
Menurut pemerintah, izin itu
diberikan sebab PT. Freeport telah menunjukan lokasi pembangunan smelter.
Pertanyaannya, Apakah Hanya dengan sekedar menujukan lokasi smelter
lantas izin diberikan? How Come?
Lihatlah dalam klausul perjanjian
pada MoU perpanjangan izin ekspor Freeport Juli 2014 lalu. Freeport berjanji
akan membangun smelter, bahkan dengan pernyataan siap menggelontorkan US$ 2,3 milyar.
Bahkan untuk menunjukan kesungguhannya, Freeport telah meyerahkan jaminan US$
150 juta kepada pemerintahan SBY dengan syarat, pemerintah harus memberikan
kepastian perpanjangan kontrak Freeport. Akhirnya kepastian perpanjangan
kontrak pun diberikan 2x10 tahun dan telah dituangkan dalam MoU itu.
Telah berlalu 6 bulan pasca
perjanjian penandatangan nota kesepahaman itu, uang jaminan telah diambil oleh
pemerintah SBY dan kepastian atas perpanjangan izin operasi hingga 2041 pun
telah didapatkan. Namun mana fasilitas pemurnian bahan mineral mentah atau
smelternya? Kok tidak berwujud? Lalu dimana jaminan US$ 150 juta itu, apakah
sudah dimakan habis sebagai bentuk suap kepada pemerintah agar memberikan
kepastian kontrak 2x10 tahun? Ataukah sudah dikembalikan kepada Freeport? Kita
tidak tau, siapa yang mau jujur.
Ini bukan sekedar soal
pembangkangan membangun smelter untuk menyembunyikan hasil eksploitasi sehingga
sulit dilacak keuntungan Freeport serta dapat menghindar dari pengenaan pajak
pertambahan nilai. Terpentingnya, Dengan pembangkangan ini menunjukan Freeport
telah menginjak-injak Amanah UU minerba yang harus dihormati. Karena UU
Minerba merupakan pengejawantahan kehendak masyarakat Indonesia.
Jika saat ini pemerintah telah
memberikan perpanjangan izin ekspor kepada Freeport, maka sesungguhnya
pemerintah telah melanggar UU minerba. Artinya pemerintah bersama Freeport
tengah menginjak-nginjak kepentingan rakyat yang melekat pada UU No. 4 tahun
2009 tentang minerba. Padahal eksistensi UU minerba, agar presiden mempunyai
kewajiban memegang teguh sesuai sumpahnya ketika dilantik dalam mengelola
kekayaan minerba nasional.
Jamin, ada kepentingan lain
sesungguhnya yang mendasari Joko Widodo dalam memberikan perpanjangan izin
ekspor tersebut. Ini bukan pernyataan asal menuduh, tapi berdasar pada cacat
moral cabinet kerja karena telah bersikap aidiologis dan ahistoris.
Bersikap aidiologis sebab
perpanjangan izin ekspor Freeport adalah agenda hidden pemerintahan Jokowi yang
sengaja mengadu antar lembaga hukum seperti KPK- Polri, sebagai bagian dari
operasi pengalihan isu publik dalam mencari posisi aman untuk melangsungkan
kebijakan neoliberalnya sebagai konsensi dukungan keterpilihannya sebagai
presiden Indonesia. Ini bukan fitnah, silahkan saja cermati bagaimana proses
perpanjangan izin itu, betapa ditolak 100% oleh UU 4 tahun 2009 tentang minerba
yang didikte oleh UUD 1945, terkhusus pasal 33, 23, 27 ayat b, 31, 34 dan 28
ayat h. dengan demikian maka tidak ada lagi realisasi trisakti berbasis
berdikari itu.
Bersikap ahistoris, karena
seakan-akan Pemerintah pura-pura bodoh dalam memahami sejarah Freeport yang
dimuali dari tahun 1967 sampai 2015 ini. Dimana Freeport telah
menginjak-nginjak kedaulatan negara, mengakibatkan kerugian finansial dan
mengabaikan hak-hak masyarakat local. Dalam lintasan sejarah, Freeport sudah
terlalu banyak menikmati kekayaan yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Apalagi, Freeport hingga saat ini enggan untuk
transparan berapa keuntungan yang diperoleh.
sepanjang sejarah, Inti dari
eksistensi Freeport yang harus disoroti adalah, pola kontrak kerja sama dengan
pemerintah dalam melangsungkan ekspansi bisnis di Indonesia berdasarkan
kerangka penalaran Kontrak Karya. dengan menggunakan pola seperti ini, maka
fungsi manajemen dan operasional terhadap tambang mineral Grusberg 100% berada
ditangan Freeport. Pemerintah hanya menjadi penonton dan menerima Royalti yang
tak seberapa. Artinya dalam konteks ini Indonesia kehilangan kedaulatan
terhadap bukit emas itu. Akibatnya Freeport bebas aktif dalam mengekploitasi
dan memberikan dampak kerugian finansial yang luar biasa bagi negara.
Misalnya Berdasarkan data
Freeport-McMoran untuk pembukuan pendapatan Freeport tahun 2009 lalu US$ 5,9
milyar, lebi tinggi dibandingkan pendapatan Freeport yang beroperasi di AS US$
4,8 milyar. Saat yang sama dengan pendapatan sebesar itu, Manfaat yang disetor
kepada pemerintah hanya US$ 1,01 milyar. Kecilnya pendapatan itu disesuaikan
dengan kesepakatan royalty yang diperoleh negara untuk tembaga 1% dari
hasil penjualan (jika harga jual di bawah US$ 0,9/pound) dan meningkat menjadi
3,5% (jika harga jual mencapai US$ 1,1/pound). Untuk emas dan perak
masing-masing 1% dari harga jual.
Kenyataan ini semakin diperparah
dengan pembangkangan Freeport untuk mematuhi kenaikan setoran Royalti 3,75%
sejak 2003 lalu. kenaikan itu hanya akan dipatuhi ketika, pemerintah memberikan
kepastian untuk perpanjangan kontrak. Permintaan itu telah dipenuhi oleh SBY
dengan memasukan kepastian perpanjangan kontrak 2x10 tahun Juli 2014
lalu. Namun Freeport belum juga mau patuh.
Di saat yang sama dalam
Perhitungan IHCS dari tahun 2003-2010, kerugian negara karena Freeport hanya
membayar royalti emas 1% adalah sebesar US$ 256 juta. Padahal Ada produk ikutan
yang bisa dijual, selain emas,perak dan tembaga. Antara lain belerang. Namun
atas potensi penerimaan ini, Negara tidak mendapatkan apa-apa karena tidak
diatur dalam Kontrak Karya. Penjualan produk ikutan tersebut mutlak menjadi hak
Freeport. Hal ini sudah disinggung dalam laporan audit BPK mengenai pengelolaan
PNBP atas pelaksanaan KK di Freeport tahun 2004-2005
Sedangkan menurut KPK,
akibat molornya renegosiasi Kontrak Karya Freeport negara merugi sebesar US$
169 juta dolar per tahun. Freeport setuju divestasi saham sebesar 30% kepada
Pemerintah, pemda, BUMN atau BUMD, namun hal itu tak sungguh-sungguh
direalisasikan. hal ini memang disengaja oleh Freeport, dengan alasan PP No 20
tahun 1994 yang menyatakan bahwa asing boleh menguasai 100% saham perusahan tambang.
Padahal ketentuan ini bertentangan dengan KK yang mengharuskan divestasi hingga
51%.
Menariknya jika berkaca pada
beberapa analisa disebutkan, Jika dilihat dari cadangan tembaga dan emas yang
ada Mengingat kontrak Freeport akan berakhir pada 2021 dengan opsi perpanjangan
2 kali masing-masing 10 tahun, maka Indonesia tidak akan mendapatkan sisa-sisa
tembaga dan emas apabila kontrak tersebut diperpanjang sampai dengan 2041
(dengan catatan tidak ada penemuan cadangan baru)
Freeport selama beroperasi juga
sudah banyak melanggar keselamatan dan kesehatan kerja seperti insiden
runtuhnya terowongan Big Gossan milik PT Freeport Indonesia di Timika, Papua,
pada 14 Mei 2013, yang mengakibatkan 28 orang tewas.Masalah lingkungan adalah
masalah yang paling sering disorot. tanah adat 7 suku, diantaranya amungme,
diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi . Limbah tailing PT FI telah
meniumbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km
bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur.
Saat periode banjir datang,
kawasan-kawasan suburpun tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan
banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang
semula kering menjadi rawa. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya
orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita
HIV AIDS tertinggi di Indonesia.
Mirisnya di saat Semua emas,
perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah dibawa kabur oleh asing,
meninggalkan limbah beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang
Papua yang sampai detik ini masih saja hidup bagai di zaman batu.
Berdasarkan kesaksian seorang
wartawan senior CNN yang berhasil meliput tambang Freeport dari udara dengan
menggunakan helicopter, menemukan bahwa Freeport sama sekali tidak mau
kehilangan emasnya itu, dan telah membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari
Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru
dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga
itu ke Amerika. Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh
pemerintah Indonesia sampai sekarang lewat regulasi demi regulasi.
Sungguh Freeport merupakan ladang
uang haram bagi pejabat sejak tahun 1967 lalu. jika saat ini pemerintah telah
memperpanjang izin ekspor, maka hal itu akan tetap berlangsung. Dan jika
kontrak ekspansi bisnis hingga 2041 yang telah dipastikan dalam MoU oleh SBY
pada Juli 2014 lalu itu disepakati oleh pemerintahan Jokowi pada 2019 nanti,
maka sesungguhnya Freeport akan tetap menjadi ladang uang haram pejabat
hingga tahun 2041.
Saya kira kepastian itu akan
diberikan oleh sang presiden, Indikatornya sederhana saja, dengan sengaja
mengadu antar lembaga hukum KPK dan Polri, sebagai bagian dari operasi
pengalihan isu publik dalam menyoroti kebijakan neoliberalismenya (perpanjang
izin ekspor Freeport) sebagai konskuensi dukungan keterpilihannya sebagai
presiden Indonesia, adalah dasar prediksinya. Lalu siapa yang peduli? Rakyat
akan tetap gigit jari.
Jadi bisa dilihat, perpanjangan
izin ekspor Freeport oleh pemerintahan JOKOWI merupakan satu agenda untuk tetap
menjaga kepentingan Pihak asing dan Kroni-kroninya atas kekayaan bukit Grasberg
papua. Ini semua terjadi karena Indonesia menggunakan paradigma liberal atau
sekuler kapitalis ditambah rezim yang ternyata berperilaku layaknya jongos
asing atau bahasa halusnya, antek asing, nurut perintah asing
Persolannya sederhana kita hanya
perlu melepaskan diri dari cengkeraman Asing (Amerika) dan mau menegakan
kedaulatan ekonomi dibidang sector energy terkhusus tambang mineral,
berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang digerakan secara mandiri. Jika tidak ada
keberanian maka selama itu pula, kita akan hancur berantakan dan rumah
kita akan senantiasa diacak-acak oleh Neoliberal ala Amerika atas nama
Investasi dan utang.
Jujur berdikari sejati itu hanya
ada dalam Islam. Silahkan saja membandingkan dan mencari sistem pengganti yang
layak diterapkan untuk ummat manusia, maka akal kita akan menjawab “itu
adalah Islam”. Islam dengan seluruh aspek kehidupannya adalah sistem yang
sempurna, secara normatif dan empirik sistem inilah yang paling unggul. Begitu
juga ketika berbicara tentang bagaimana seharusnya tata kelola tambang minerba.
Lihatlah, Islam telah menjadikan
minerba dan kekayaan alam yang melimpah lainnya sebagai milik umum, milik
seluruh rakyat. Mewakili rakyat, negara harus mengelola kekayaan alam milik
rakyat itu dan mengembalikan seluruh hasilnya untuk kepentingan rakyat. Rasul
saw. bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي
الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu
padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Paradigma inilah sesungguhnya yang harus diterapkan ketika berbicara tentang
kesejahteraan rakyat, dan paradigma ini hanya ada dalam sistem Islam.
sesungguhnya tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, termasuk bagi para agen
perubahan bernama mahasiswa selain memilih Islam, dan meletakannya secara utuh sebagai
sebuah Ideologi pada tampuk kekuasan yang bernama Khilafah. Karenanya tetaplah
melawan, tetaplah Islam dan tetaplah dijalur Revolusi.// E.Valero
Tidak ada komentar:
Posting Komentar