Dibalik Pertambangan FREEPORT yang Menjajah Ekonomi Negeri Kami
PT
Freeport Indonesia adalah satu-satunya korporasi penjajah yang masih eksis dan terjaga di
tanah Papua Barat, Indonesia. Neo kolinialisme adalah sebutan yang sangat tepat
untuk menggambarkan korporasi pengeruk emas terbesar di Indonesia ini. Bahkan
pengerukan tambang Grasberg, yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dan
tambang tembaga ketiga terbesar di dunia ini, tidak hanya mengeruk tanah tetapi
juga mengeruk kemerdekaan rakyat Papua. Riwayat penambangan emas oleh PT
Freeport Indonesia di Papua sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada
tahun 1936 Jean-Jacques Dozy melakukan ekspedisi hingga mencapai gletser Gunung
Jayawiya dan menemukan Erstberg.
Ekspedisi PT.Freeport
Indonesia yang pertama kali dipimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint, yang menjelajah
Erstberg pada tahun 1960. Pada tahun 1963 terjadi serah terima kekuasaan atas
Netherlands Nieuw-Guniea (Irian Barat) ke PBB, yang kemudian memberikannya ke Indonesia.
Pada tahun 1966, bertepatan dengan peralihan
kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, rezim Soeharto mengundang PT Freeport ke
Jakarta untuk membicarakan kontrak tambang di Erstberg. Kontrak karya pertama
kali ditandatangani pada tahun 1967 untuk masa 30 tahun. PT Freeport Indonesia adalah anak perusahaan dari
PT Freeport McMoran Gold and Copper yang berbasis di New Orleans, Amerika, sebagian
besar saham PT Freeport Indonesia dimiliki oleh PT Freeport McMoran, yaitu
sebanyak 90,64 persen.
Kuasa Hukum Indonesian Human
Right Committe for Social Justice (IHCS), Jensen E. Sihaloho, menilai kontrak
karya PT Freeport Indonesia dengan pemerintah cacat hukum. Hal itu dikarenakan
kontrak yang dibuat bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU Minerba merupakan koreksi atas UU No.11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Di dalam Pasal 169 UU
Minerba memerintahkan,kontrak karya disesuaikan dengan UU Minerba
selambat-lambatnya satu tahun sejak UU Minerba diundangkan. Dengan demikian,
renegosiasi pertambangan adalah salah satu mandat dari UU Minerba.
Kenyataanya, renegosiasi yang
dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian hingga kini masih berlarut-larut.
Seharusnya renegosiasi kontrak karya Freeport sudah selesai pada tanggal 12
Januari 2010 lalu, tetapi dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh
Freeport terjadi kerugian keuangan Negara yang menyebabkan perekonomian
Indonesia diambang kritis. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
bahwa Freeport sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti
emas sebesar 1% dari harga jual per kilogram. Padahal, di dalam peraturan
pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75% dari
harga jual emas per kilogram.
Proses renegosiasi yang belum
selesai memaksa Indonesia kehilangan pendapatan sebesar AS$169 juta setiap tahun.
Seharusnya Indonesia bisa menikmati pendapatan sebesar AS$ 330 juta atau Rp 3,4
triliun. Kenyataannya, negara hanya menerima AS$ 161 juta atau Rp1,77 triliun.
Kerugian negara karena Freeport hanya membayar royalti emas 1 persen adalah
sebesar AS$256 juta (Rp2,8 triliun). Karena kontrak karya Freeport yang
mengatur royalti emas sebesar 1% bertentangan dengan hukum nasional maka
seharusnya kontrak karya sebagai perjanjian batal demi hukum sehingga
renegosiasi semestinya sudah diberlakukan sejak tahun 2003.
Keberadaan PT Freeport
Indonesia tidak terlepas dari politik akomodatif negara terhadap rezim tambang
multinasional. Paradigma pertumbuhan yang ingin dikejar oleh pemerintah, membuat
pemerintah gelap mata dan menyerahkan kekayaan negara kepada pihak asing. Amerika
yang notabene merupakan negara super power, pernah mengalami masa-masa sulit
menghadapi dampak kerusakan fisik dan non-fisik pasca penutupan lahan tambang. Setelah
itu, keluar UU yang memperketat pemberian izin usaha pertambangan. Beratnya
syarat yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika, memaksa perusahaan-perusahaan
multinasionalnya ekspansi ke negara lain.
Jadi, langkah ekspansif yang
dilakukan oleh PT Freeport McMoran ke Indonesia merupakan bagian dari skenario
untuk bertahan dan memperluas wilayah operasi, karena di Negara sendiri mereka
sudah kesulitan bergerak, selain akibat berkurangnya cadangan mineral juga
karena ketatnya UU pertambangan Amerika. Semua terlihat semakin semu, karena
apa yang disampaikan oleh pendiri bangsa Presiden Soekarno bahwa penjajahan
baru dalam bentuk ekonomi akan menjajah bangsa Indonesia kini terbukti. Penjajahan secara ekonomi oleh kapitalis asing
dapat dilihat secara kasat mata yang dilakukan oleh Freeport. Perusahaan
tambang asal Negeri Paman Obama tersebut, tidak hanya membuat ekonomi negeri
kita semakin terpuruk bahkan merusak sumber daya alam yang kita miliki.
Perpanjangan izin ekspor yang
terus menerus diberikan oleh pemerintah kepada Freeport adalah bukti sah
penjajahan ekonomi oleh Neo kolinialisme yang harus dilawan. Penjajahan ini
tidak boleh dibiarkan berlangsung terus-menurus. Mereka menangguk laba dari tanah
Papua, tetapi masyarakat disana tetap miskin. Ini bukti nyata bahwa Freeport
hanya melakukan eksploitasi belaka dan wujud dari ekploitasi yang tidak berperi kemanusiaan. Freeport
merupakan satu dari sekian perusahaan asing yang menguasai sektor perekonomian
kita dan sangat didukung oleh Pejabat Negara.
Rezim UU Pertambangan yang
kita miliki sangat pro asing. Akibatnya, kehadiran PT Freeport Indonesia tidak
memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi kemakmuran rakyat Papua dan
Indonesia. PT Freeport Indonesia merupakan bagian dari sistem kapitalis dunia
(PT Freeport McMoran) yang mengeksploitasi emas dan tembaga secara tidak
beradab, hal ini menimbulkan kerugian secara ekonomi dan non-ekonomi kepada Indonesia.
Sudah saatnya kita berhenti dijajah oleh kekuatan kapital asing. Inilah saatnya
mengembalikan kedaulatan ekonomi kita. Karena Indonesia merupakan Negara yang
memeperjuangkan segalanya demi kemredekaan rakyatnya.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar