Gerwani, Cerita Dibalik Sejarah.
Oleh : Luh Putu Anggreni, SH
(Aktivis Perempuan dan Anak )
Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia dibentuk pada tahun 1950. Sebelumnya
sempat dinamakan Gerwis atau Gerakan Wanita Istri Sedar. Gerakan
Gerwani dijaman itu, sudah mencerminkan semangat revolusi yang bertujuan
mencapai kesamaan hak untuk perempuan. Melalui pendidikan ketrampilan,
pemberantasan buta hurup dan pembentukan Taman Kanak-Kanak di desa-desa.
Pada tahun 1965, Gerwani menyatakan jumlah keanggotaannya lebih dari
1,7 juta perempuan dan aktif terlibat dalam implementasi kebijakan
reformasi agrarian, bekerjasama dengan organisasi petani lainnya.Gerwani
juga aktif dalam upaya menggalang sukarelawati sekitar kampanye
pemerintah untuk pembebasan Irian Barat ( sekarang Papua ) dan kampanye
melawan Malaysia pada waktu itu.
Saskia Wieringa, Peneliti asal
Belanda yang menulis mengenai Gerwani dari perspektif
Feminis,mempergunakan konsep gender sebagai konsep analitis. Hasil
Penelitiannya dibukukan sebagai karya Disertasi Doktor yang diajukan
pada Institute of social Studies (ISS) Den Haag. Dalam perspektif
penelitian Wieringa, Gerwani ditempatkan sebagai “korban” peristiwa
politik Oktober 1965. Dia mencoba mengurai anggapan para pejabat
penguasa, bahwa Gerwani adalah gerakan perempuan progresif yang tidak
bermoral/ pelacur bejat moral.
Temuan Saskia ternyata Gerwani
merupakan organisasi massa perempuan yang suaranya sangat keras dalam
membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai dengan keadaan jamannya.
Gerwani yang sebelumnya bernama Gerwis, pada tahun 1954 menempatkan
organisasinya dalam barisan pelopor, yang menggalang massa perempuan
seluas-luasnya sebagai wadah pendidikan massa dan juga berjuang melalui
parlemen.Perjuangan di Parlemen adalah memasukkan agenda perempuan
dalam rancangan Undang-Undang seperti UU Perkawinan dan UU Ke
Imigrasian. Bagi Gerwani, musuh idiologisnya adalah berbagai pandangan
yang menjadi penyebab berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan
yang bersumber pada feodalisme, imprealisme dan kolonialisme. Pada
strategi perjuangan massa di medan feminism dan daerah,Gerwani melakukan
kegiatan mulai dari pemberantasan buta hurup, memberi kursus-kursus
ABC, penanggulangan bencana alam, mengurus anggota yang menjadi korban
kekerasan dan poligami, sampai mengurus taman kanak-kanak.Gerwani juga
menggalang front persatuan diantara organisasi-organisasi
perempuan,misalnya dalam kongres Wanita Indonesia/ KOWANI. Gerwani
mengajak organisasi perempuan untuk bekerjasama memperjuangkan RUU
Perkawinan. Pada masa pemerintahan Soekarno, Gerwani adalah satu-satunya
organisasi perempuan yang merambah kepentas politik Nasional, sementara
organisasi perempuan lainnya lebih menekuni kerja social saja.
Kerja-kerja politik dianggap hanya sebagai milik politisi laki-laki, dan
kaum perempuan digiring kemedan kerja sosial yang didifinisikan sebagai
tempatnya kaum perempuan. Profil perempuan Gerwani yang bersuara keras
dan militant sangat mengancam” kegagahan” laki-laki yang dalam
masyarakat Indonesia ditempatkan sebagai penjaga gawang nilai-nilai
normative.
Pada masa peristiwa 1965, anggota Gerwani dan
perempuan lainnya yang dianggap berafiliasi dengan PKI, menjadi sasaran
kejahatan sistematis, antara lain : pembunuhan, penghilangan paksa,
penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan kekerasan seksual. Meskipun
ada laporan otopsi resmi yang menyimpulkan bahwa penyebab kematian para
perwira ( peristiwa Lubang Buaya ) adalah tembakan peluru, pemukulan
benda tumpul dan bahwa jenazah dalam keadaan utuh, namun beberapa media
masa saat itu menyebarkan laporan palsu mengenai kondisi jenazah,
dinyatakan mata dalam keadaan tercongkel, dan kemaluan
dipotong.Laporan-laporan yang tidak terverivikasi menceritakan tentang
penyiksaan seksual dan pengebirian yang dilakukan oleh anggota Gerwani.
Cerita-cerita ini kemudian menjadi peristiwa kekerasan kepada
perempuan gerwani yang ditangkap, ditahan, disiksa secara seksual,
ditelanjangi dengan alasan mencari tato yang akan menunjukkan
keanggotaan dalam organisasi.
Mengacu pada mandat Komnas
Perempuan,sesuai Perpres No.62/2005, untuk menciptakan situasi yang
kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM
perempuan, dan menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan, maka pada tgl 29 Mei 2006, Komnas
Perempuan menerima pengaduan sekelompok korban perempuan dari peristiwa
1965. Para ibu ini yang kebanyakan sudah berusia lanjut, mengungkapkan
pengalaman pelanggaran dan kekerasan yang mereka alami dimasa lalu,
sekaligus diskriminasi yang masih terus mereka rasakan. Mereka juga
menyampaikan tuntutan serta harapan mereka untuk masa depan yang lebih
baik.Komnas Perempuan kemudian membantu menganalisa pengalaman perempuan
korban 1965, memfasilitasi dialog tentang pengalaman korban dengan
lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat, dan membuat laporan resmi
tentang temuan-temuan dari proses ini serta rekomendasi-rekomendasi pada
Presiden dan pemerintah.
Komnas Perempuan melakukan konsultasi
dengan sejarawan dan para ahli, mempelajari naskah-naskah penelitian
akademis, mengumpulkan arsip-arsip sejarah dan bukti-bukti lainnya serta
melakukan analisa yang mendalam terhadap 122 kesaksian perempuan korban
1965. Komnas perempuan sangat menyadari bahwa kesaksian-kesaksian ini
hanyalah sebagian kecil dari pengalaman ribuan korban lainnya. Namun
Komnas Perempuan percaya bahwa temuan-temuan dari laporan ini telah
menangkap pola yang paling utama berkaitan dengan pelanggaran yang
dialami perempuan pada masa itu. Komnas Perempuan telah menemukan
bukti-bukti yang saling menguatkan yang mengungkapkan pola penyiksaan
seksual yang terjadi diberbagai tempat penahanan dibanyak tempat. Korban
perempuan dihina dengan kata-kata yang melecehkan, dituduh terlibat
dalam tarian seksual sambil menyiksa para jendral.
Dari 122
kesaksian yang diterima dan dipelajari, Komnas Perempuan dapat
menyimpulkan adanya indikasi kuat bahwa pelanggaran-pelanggaran yang
dialami perempuan berkaitan dengan peristiwa 1965 telah memenuhi
unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis gender. Kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah kejahatan Internasional yang sangat serius
,dimana perbuatan tertentu (pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dll)
terjadi dalam kontek penyerangan secara luas atau sistematis terhadap
masyarakat sipil. Pada intinya, kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi
pada saat Negara mengerahkan kekuatan untuk menyerang warga negaranya
sendiri.
Ada beberapa kesimpulan yang ditarik oleh Komnas Perempuan :
Kejahatan terhadap kemanusiaan telah menjadi bagian dari hukum
kebiasaan Internasional dengan digelarnya Mahkamah Militer Nurenberg
(1945-1946) dan Tokyo ( Mei 1946 – Nop 1948) dan diadopsinya
prinsip-prinsip Nurenberg oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1950,
sehingga Indonesia sebagai anggota PBB telah mengakui prinsip-prinsip
ini dan terikat pada hukum kebiasaan Internasional.
Kewajiban
Indonesia untuk mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan semakin
menguat dengan diadopsinya UU No.26/2000 yang menjadi landasan hukum
untuk pengadilan HAM di Indonesia.
Dari 122 kesaksian yang
dipelajari Komnas Perempuan telah tergambar peristiwa pembunuhan,
kekerasan dan penahanan missal yang terjadi di berbagai wilayah di Jawa,
Sumatera, Bali, Kalimantan Timur, dan Pulau Buru yang menjatuhkan
setidaknya ratusan ribu korban. Data-data yang dipelajari memberi
indikasi kuat bahwa telah terjadi serangan yang meluas dan sistimatik,
artinya terjadi secara berulang dengan pola yang terulang diberbagai
lokasi, terhadap perempuan yang dituduh mempunyai hubungan dengan
Gerwani, PKI dan organisasi lainnya. Misalnya korban dari wilayah yang
berbeda melaporkan metode kekerasan dalam bentuk penelanjangan dengan
alasan mencari cap palu arit. Perkosaan dalam tahanan dan serangan
terhadap alat-alat reproduksi perempuan dalam proses interogasi.
Harapan dan Rekomendasi dari Komnas perempuan mengenai Gerwani adalah:
1. Bertanggungjawabnya Negara bersama segenap elemen bangsa untuk
bersungguh-sungguh mengambil langkah konkrit untuk membebaskan diri dari
belenggu stigma tentang Gerwani dan seluruh stigma lain yang terkait
peristiwa 1965.
2. Sangat diharapkan semua pihak yang berpengaruh
dalam pembuatan opini public termasuk lembaga agama agar melibatkan
diri dalam :
Upaya rekonsiliasi ditingkat basis antara korban dan komunitasnya
Upaya pengungkapan kebenaran dilingkungannya masing-masing terkait peran masyarakat dalam peristiwa 1965
Memperkuat komitmen pada prinsip-prinsip anti kekerasan dan memutus mata rantai kebencian di masyarakat
3. Segenap penyelenggara Negara dan elemen bangsa memberi dukungan dan
menciptakan rasa aman bagi upaya masyarakat dalam melakukan
rekonsiliasi.serta tidak hanya sekedar mengucapkan janji simbolis bahwa
kejahatan berbasis gender tidak boleh terulang lagi.
4.
Masyarakat Internasional dapat mengambil segala langkah dan tindakan
untuk memastikan dan mendukung pemerintah Indonesia dalam menjalankan
kewajibannya untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan, mencegah
keberulangan pelanggaran HAM dan menjamin hak-hak perempuan korban,
termasuk pemberian reparasi.
(sumber bacaan : Laporan Komnas
Perempuan ; Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 dan Buku
Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, karya Saskia Eleonora
Wieringa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar